Thursday, August 10, 2017

Hilangnya Kejujuran dan Berharganya Kebohongan

Sudah lama nggak memperbarui isi blog ini. Tau-tau saya upload tulisan tentang ini. Jleb banget emang. Tapi topic ini sepertinya topic lawas dan receh namun sebenarnya memegang peranan penting dalam hidup. Apalagi dengan pasanganmu. 
Kenapa saya menulis ini?
First, karena saya paling benci dan ga suka dengan yang namanya bohong. Bohong itu adalah tanda kita lemah dan tidak mampu. 
Kedua, karena terlalu banyak orang menganggap saya orang bodoh yang gampang dibohongi. 



Ketiga, adanya pemikiran teman dan orang didekat saya kalau bohong demi kebaikan itu ga apa-apa. Benarkah? 
1. Ada Saatnya Ketika Jujur Dianggap Menyakiti Dan Ketika Berbohong Dianggap Mengecewakan
 Memang, ini adalah emikiran yang banyak dianggap orang-orang. Mereka mengatakan ini demi kebaikan, untuk menjaga, bla  bla bla. Bagi saya itu adalah hal nonsense. Seburuk apapun itu, jujur lebih baik. Agar saya bias mengetahui apa yang sedang saya hadapi sekarang. Berbohong pada saya itu menandakan orang itu tidak percaya dengan kemampuan saya untuk memahami masalah. Karena sepintar-pintarnya menyembunyikan kebohongan pasti akan kebongkar juga. Ketika memilih berbohong maka pada akhirnya akan semakin membuat orang lain kecewa dan terluka.Ketika saya menyadari kebohongan itu, ketika itu pula saya nggak akan pernah mempercayai orang itu 100 persen lagi. Pasti saya akan selalu menyisakan ruang untuk kecewa. You know hidup seperti itu? Semacam senang tapi tidak senang. Semacam tidur tapi menerawang. Kalo saya prinsipnya gini : “Lebih Baik Disakiti Karena Kejujuran Dari Pada Dibahagiain Dengan Kebohongan”. Sesakit apapun perkataan jujur itu, maka lebih baik katakan. Memang benar bahwa kejujuran sering kali membuat seseorang tersakiti, namun lebih baik disaikiti karena kejujuran dari pada dibahagiain dengan kebohongan.
Kebahagian yang diawali dengan kebohongan hanya akan menyakiti orang lain dan tidak akan bertahan lama. Lebih baik jujur meski menyakitkan dari pada harus bahagia karena kebohongan. 
Kebohongan pada awalnya membuat orang bahagia, namun pada akhirnya kebohongan itu sendiri yang akan menghancurkannya. Dan pembohong itu akan sulit untuk dipercaya lagi dan sekali pembohong selamanya akan dicap sebagai pembohong.
I am cruel to my self. So the world would soft to me.
Sebuah frasa yang aneh memang. Tapi itulah saya.
Meski pada awalnya orang yang jujur itu dibenci, namun pada akhirnya orang yang berkata jujur itu akan diterima dan dimaafkan. Karena kejujuran akan mengantarkan seseorang pada kebaikan.

2. Sekecil apapun kebohongan, jika dilakukan berulang-ulang akan menyakiti orang yang dibohongi. Juga membodohi diri sendiri

Why? Orang yang membohongi diri sendiri adalah orang bodoh dan lemah. Trust me. Saya pernah berbohong, namun dalam hati kecil saya semacam menangis karena ketidakmampuan saya mengatakan kebenaran. Saya terus merasa bersalah sampai saya menghakimi diri saya sendiri dengan ketidakmampuan itu. Saya selalu mencari alasan. Sementara orang yang saya bohongi akan semakin terluka. 

3. Hati yang terluka tidak akan pernah sembuh sempurna seperti sedia kala
Ketika fix merasa dibohongi, alami sekali kalo orang akan marah. Justru aneh kalo mereka tidak marah. Tapi ada satu spesies manusia, yang kalo dia tau orang berbohong padanya, dia akan tersenyum dan mengamini apa yang oaring tersebut bilang.Tapi didalam hatinya jauh merasa terluka seperti luka yang diberi garam. You know how does it feel? Manusia itu tetap tersenyum, tapi dalam hatinya pasti jauh lebih sedih dari kebanyakan orang. Tapi tetap berterimakasih, karena telah berusaha membuat sesuatu untuk membahagiakannya. Walaupun harus berbohong. Gambar ini pesannya njleb lho. 

Sebenarnya, kalo saya pribadi nggak butuh perlakuan istimewa, nggak butuh disanjung, nggak butuh diterima, kalo memang ga bisa menerima. 



4. Jujur itu membuat semua masalah ada solusinya

Ketika kita jujur, pasti menceritakan semua permasalah dari berbagai sudut pandang dan penyebabnya. Semakin banyak penjelasan, akan semakin mudah mencari solusinya. 
Jadi, jika kamu menghargai seseorang, jangan pernah berbohong. Lebih baik jujur dan apa adanya. 




Thursday, December 8, 2016

HOW TO SURVIVE IN JAKARTA


Hai haiiii, udah lama saya ga update blog lagi. Karena beberapa minggu terakhir itu isunya hangat tentang agama, jadi yaaaaa. Saya off dulu. Menyegarkan pikiran. Hehe.
Sebenarnya tulisan ini udah lama ingin ditulis. Cuma, karena saya sibuk (sok sibuk), jadi kurang waktu bermesraan dengan laptop. Halah, bahasanya itu kadang agak labil. Kadang formal, kadang gaul, kadang biasa aja. Jadi, kalau sekarang sedang gaul. Ya, paham-paham aja lah.
Yang perlu saya jelasin disini adalah mengapa saya menulis tulisan ini? Karena selalu ada alasan kenapa saya menulis ini. Eaaaaa.
1.       Banyak paradigma orang-orang buruk tentang Jakarta.
2.       Keamanan yang kurang di Ibukota
3.       Ga tau jalan

Well, mau dijelasin satu-satu? Bahwa ke empat poin di atas tidak sepenuhnya benar. Atau boleh di bilang Totally Wrong!!!!!

Paradigma buruk tentang Jakarta. Sebenarnya, paradigma buruk ini, untuk Jakarta di jaman dulu. Karena dulu, memang banyak kejahatan. Copet, palak, rampok. Memang banyak. Karena sewaktu pertama kali ke Jakarta, pengamanan dari kakakku luar biasa. Sekitar tahun 2004. Waktu itu memang Ibuku hampir jadi korban copet plus hipnotis. Nah, dulu memang banyak. Sekarangpun masih banyak. Hanya saja tidak terlalu banyak seperti dulu. Jawaban ini sebenarnya nyangkut untuk poin dua juga. Intinya kita mesti aware dengan lingkungan dan selalu ga lupa sama yang pencipta. Misalnya Dzikir atau do’a di dalam hati. Nah, kalau seperti itu, yang namanya hipnotis bakal jauh-jauh deh. Aware sama barang bawaan kita juga.

Nah, kalau dulu itu, banyak kasus copet di metromini, kopaja, angkot, dan lain-lain. Belum lagi karena pengamen yang tiap sebentar datang. Kalau nggak dikasih, ngamuk-ngamuk.  Untuk kasus copet, masih ada kok di Jakarta. Impossible kalau ga ada sama sekali. Bukan Ibukota namanya. Tapi kita bisa meminimalisir. Jakarta sekarang jauh  lebih ramah dibanding dulu. Terbukti dengan adanya transportasi umum yang lebih manusiawi. Ada commuterline, transportasi online dan transjakarta.

1.       Commuterline
Commuterline ini inovasi dari kereta api. Rutenya se Jabodetabek. Ingat ya, JABODETABEK itu Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Jadi, rutenya lumayan banyak. Juga di dalamnya memiliki AC. Ya, minimal seperti kereta di Jepang lah. Karena seingat saya sih, itu pemberian Jepang. Yang terpenting adalah punya PETA Commuterline. Mungkin ini adalah kewajiban bagi orang yang baru menggunakan transportasi ini. Kalau sudah biasa sih, gak perlu karena sudah expert.

Peta KRL

Di dalam kereta berdesak-desakan di jam sibuk


Ketika gak di jam sibuk


Agar bisa menaiki Commuterline harus punya tiket dulu. Eits, jangan karena saya menyebutnya tiket, yang dibayangkan adalah kertas. Jangan. Karena tiket disini itu semacam kartu. Di dalamnya terdapat saldo online kita, atau e-money. Terdapat banyak sih. Ada dari BCA namanya Flash, BRI ada BRIZZI, ataupun langsung dari Commuterlinenya, jaminan harian atau multitrip, dll.
Kartu Jaminan Harian Kereta

Kartu Multi Trip

Tapi, di dalam kereta ini, tetap mesti berhati-hati ya. Baik fisik maupun barang-barang. Kenapa saya katakana fisik? Karena yang naik bukan kita saja. Rata-rata karyawan yang domisili JABODETABEK pasti menggunakan kereta. Nah, untuk bisa masuk ke kereta, apalagi jam berangkat kerja dan jam pulang kerja. Itu perjuangan sekali. Just feel it when you here !

2.       Transjakarta
Untuk transjakarta, rute yang dilewati adalah rute jalan raya. Tetapi memiliki jalan khusus. Karena memiliki jalan khusus, otomatis terbebas dari macet. Tetapi, sangat disayangkan masih banyak yang mencoba menerobos jalur transjakarta ini. Sehingga menyebabkan kemacetan. Belakangan, udah ada penjaga jalur busway sih, jadi ada semcam gerbang di tiap jalan busway gitu. Jadi nggak usah terlalu takut kalau bakal diterobos sama motor atau mobil pribadi.

Jam Sibuk

Jam Gak Sibuk

Penampakan Busway Transjakarta

Rute Busway :
01 : Blok M - Kota
1A : PIK - Balai Kota
1B : St. Pal Merah - Tosari
02 : Pulo Gadung - Harmoni Central
2A : Pulo Gadung - Kalideres
2B : Harapan Indah - ASMI
2C : Monas - PRJ JIEXPO
03 : Kalideres - Pasar Baru
3A : Rusun Daan Mogot - Kalideres
3B : Rusun Flamboyan - Kalideres
3C : Rusun Kapuk Muara - Kalideres
04 : Pulogadung2 - Duku Atas2
4A : TU Gas - Grogol 2
4B : St. Manggarai - Universitas Indonesia
05 : Kampung Melayu - Ancol
5A : Kampung Melayu - Grogol 1
5B : St. Tebet - Bidara Cina
5C : PGC 1 - Harmoni Central
5D : PGC 1 - Ancol
5E : Kampung Rambutan - Ancol
06 : Ragunan - Duku Atas 2
6A : Ragunan - Monas Via Kuningan
6B : Ragunan - Monas Via Semanggi
6C : St. Tebet - Karet Via Patra Kuningan
6D : St. Tebet - Karet Via Underpass
6E : St. Tebet - Karet Via Mega Kuningan
6F : Ragunan - St. Manggarai
6H : Pasar Senen - Lebak Bulus
6M : Blok M - St Manggarai
07 : Kampung Rambutan - Kampung Melayu
08 : Lebak Bulus - Harmoni Central
8A : Grogol 2 - Juanda
8C : Iskandar Muda - St. Tanah Abang
09 : Pinang Ranti - Pluit
9A : PGC 2 - Pluit
9B : Pinang Ranti - Kota
9C : Pinang Ranti - Bundaran Senayan
9E : Kebayoran Lama - Grogol 2
9H : TMII - Grogol 2
10 : PGC 2 - Tanjung Priok
10A : Rusun Marunda - Tanjung Priok
10B : Rusun Cipinang Besar Selatan - PGC 1
11 : Walikota Jakarta Timur - Kampung Melayu
11A : Pulogadung - Pulogebang
11B : Rusun Rawa Bebek - Pulogebang
11C : Rusun Pulogebang - Rusun Pinus Elok
12 : Penjaringan - Tanjung Priok
12A : Dermaga Kaliadem - Kota
B11 : Summarecon Bekasi - Tosari
B12 : Summarecon Bekasi - Tanjung Priok
B21 : Bekasi Timur - Grogol 2
B22 : Bekasi Timur - Pasar Baru
BW1234 : Bus Wisata
D11 : Depok - BNN
GR1 : Bundaran Senayan - Harmoni
S21 : Ciputat - Tosari
S11 : Serpong - Grogol 2
T11 : Poris Plawad - Bundaran Senayan
T12 : Poris Plawad - Pasar Baru

Untuk bisa naik busway ini, harus memiliki tiket juga. Rata-rata hampir sama dengan kereta. Nah, sekarang sudah ada layanan gratis untuk lansia.

Kartu Busway/ E-money

Kurang ramah apa lagi coba? Tapi tetap berhati-hati dibusway ya. Kasusnya hamper sama dengan kereta. Dorong-dorongan dan ancaman copet.


3.       Ojek/transportasi Online
Belakangan, kira-kira dari tahun 2015, berkembang transportasi online. Ada gojek, grab bike, juga uber. Sebenarnya masih banyak yang lain sih. Tapi yang terkenal Cuma 3 juara ini. Cuma dengan aplikasi yang ada di smartphonemu, sudah bisa order transportasi online ini. World in your hand ! HAhahhaha, mulai lebay. Tapi intinya si abang ojek yang ini, bisa diajak muter-muter kalau kamu nggak tau alamat. InsyaAllah aman. Selain sepeda motor, armada mobil juga ada. Jadi, kurang ramah apalagi Jakarta.
Mau diantar abang Grab yang kece?

Gojek

Atau Kencan dengan Abang GoJek

Uber


At least, kalau sudah seperti ini, Jakarta tunduk pada mu. Kamu bisa survive di Jakarta yang kata orang sangat kejam. Tapi, tetap berhati-hati ya. 

Monday, November 21, 2016

AHOK dan HABIB

Postingan ini saya rasa bisa menjawab berbagi meme2 provokasi yg beredar ttg kasus yg lagi hot nya. Tulisan ini bukan hasil pemikiran saya sendiri. Tetapi dari catatan seorang teman yg sangat luwes menurut saya. Untuk berita2 ini, saya ga mau lgsg percaya. Minimal saya cari bukti lah, bukan RESHARE2 postingan.Spt kasus Al maidah : 51, saya menanyakan ke teman yg memang sepantasnya dipercaya untu urusan agama. Nah klo skrg masalah lisan, mari kita lihat bahasan dg kenalan saya. Sebutan ahoker dan habibier bukan untuk mengkotak2kan. Tapi, sebutan untuk mereka sendiri yg tau kemana pemikiran mereka lebih condong. Apakah kepada Ahok? Atau kepada Habib? Atau dengan pemikirannya sendiri. Ini kutipannya.


Ahok dan Habib: Dalam Perspektif Linguistik dan Komunikasi


Ulasan ringan untuk mereka yang bertanya pada saya: “Kenapa publik merespon video Habib Rizieq berbeda dengan cara mereka merespon video Ahok?” 
Sebelum membaca, ucapkan doa masing-masing. Pastikan kepala dingin, logika gak karatan, hati gak kusam, tendang jauh prasangka.Saya hanya ingin membatasi ulasan sesuai judul di atas. Siapkan kopi dulu karena tulisannya agak panjang. Atau bila perlu siapkan banana split. Jika masih kurang bisa siapkan kuaci. 

Dimulai...(pakai) bismillah

Bayangkan situasi berikut:
A. Kamu terbaring di rumah sakit. Kemudian datang seorang pengunjung, dan berkata “umurmu sudah tidak lama lagi.” 
Bagaimana kamu akan merespon? Kaget, tersinggung, marah, menganggap pengunjung kurang ajar, atau bahkan menganggap dia menyumpahi kamu lekas meninggal. Bagaimana jika yang berkata adalah doktermu? Doktermu masuk kamar dan berkata, “umur anda sudah tidak lama lagi.” Apakah kamu akan merespon ucapan dokter sama seperti kamu merespon ucapan si pengunjung? Tidak. Kenapa? Karena kamu yakin dokter berkata benar dan tidak bermaksud menyumpahi kamu meninggal. Karena kamu percaya dokter lebih tau kondisi kesehatanmu, bahkan lebih dari dirimu sendiri. Apakah kamu telah bersikap tebang pilih kepada pengunjung dan dokter? (bisa jawab sendiri, kan?) :D 

Situasi tersebut menggambarkan bahwa: Pesan yang sama, disampaikan oleh orang yang berbeda, dapat memberikan makna yang berbeda!

B. Di tengah keriaan bersama teman-teman, kamu mengeluarkan lelucon dan tertawa terbahak-bahak. Bagaimana kira-kira teman sekitarmu merespon? 
Kemungkinan mereka akan senang dan ikut tertawa terpingkal-pingkal. Coba bayangkan jika kamu melemparkan lelucon dan tertawa terbahak-bahak saat sedang takziah. Apakah teman dan orang sekitar akan merespon dengan cara yang sama? Katakanlah niatmu baik untuk menghibur kesedihan mereka. Apakah mereka akan ikut tertawa? Tidak. Mereka akan  mengusirmu keluar dari rumah duka! Konteks situasi menentukan apakah perkataan dan sikapmu dapat diterima atau tidak. Saya harap kamu mengerti bahwa temanmu tidak sedang melakukan standar ganda atas sikapmu. (LOL) :D

Situasi tersebut menggambarkan bahwa:Pesan yang sama, disampaikan oleh orang yang sama, dalam konteks situasi yang berbeda, dapat menyampaikan makna yang berbeda.

C. Temanmu datang menanyakan pendapatmu tentang cara dia berpakaian, dan kamu berkata, “Penampilamu terlihat buruk, baju itu tidak pantas untuk bentuk tubuhmu.”
 Apa yang akan dilakukan temanmu? Berterima kasih, mengganti pakaiannya, dan menanyakan pendapatmu kembali. Bagaimana jika kamu menyampaikan perkataan yang sama kepada seseorang yang tidak ada ikatan emosi denganmu? Misalnya kepada orang yang kamu temui di mall, atau seorang tamu yang datang ke rumahmu untuk keperluan lain, kamu berkata, “Penampilamu terlihat buruk, baju itu tidak pantas untuk bentuk tubuhmu.” Bagaimana mereka akan merespon? Jika kamu lakukan pada orang pertama, kemungkinan dia akan menggamparmu dengan tas belanjaannnya. :D :D Jika pada orang kedua, tamumu akan langsung pergi, mungkin setelah dia menyiramkan air minum ke wajahmu. Hihihihihi :D 

Temanmu bukan saja memiliki ikatan lebih dekat denganmu; dia mempercayai kompetensimu untuk menilai dan juga datang dengan kondisi siap untuk mendengar penilaianmu tentang penampilannya.Sedangkan tamu kedua datang tidak untuk mendengarmu mengkritisi penampilannya. Situasi tersebut menggambarkan bahwa: Orang yang sama, mengatakan hal yang sama, pada pendengar (recipient) yang berbeda, dapat menyampaikan makna yang berbeda.

Sampai di sini kamu masih belum paham kenapa orang merespon video Ahok berbeda dengan video Habib? Mungkin kamu butuh minum kopi...hehehehe...

Next, kita bahas sedikit pelajaran ya... 

Pragmatik (Pragmatics) seperti halnya semantik (Semantic) adalah cabang ilmu bahasa yang mengkaji makna. Jika semantic mengkaji makna satuan lingual secara internal,
 pragmatic mengkaji makna satuan lingual secara eksternal. Yule (1996:3) menyebutkan ada 4 definisi pragmatic, yaitu mencakup : 
(a) Bidang yang mengkaji makna penutur, 
(b) makna menurut konteksnya
(c) tentang makna yang diujarkan, dan
(d) bidang yang mengkaji bentuk ekpresi menurut jarak sosial yang membatasi participan yang 
terlibat dalam percakapan tertentu. 
Lebih lanjut Om David Crystal (1987), mendefinisikan pragmatic sebagai berikut: “pragmatics studies the factors that governour choice of language in social interaction and the effect of our choice on others. In theory, we can say anything we like. In practice, we follow a large number of social rules (most of them unconsciously) that constrain the way we speak.” 

Lebih jelas ya...? Jadi, dalam berkomunikasi yang penting bukan hanya apa yang dituturkan (ujaran / utterance), tetapi juga siapa yang menuturkan (penutur / speaker),  kepada siapa kita bertutur (petutur / recipient) dan dalam konteks apa tindak tutur dilakukan. Secara tidak langsung Om David juga berkata, dalam interaksi sosial terdapat pilihan bahasa (yang harus diperhatikan) dan efeknya terhadap orang lain (pendengar). Walaupun dalam teori kita dapat mengatakan apa saja, namun praktiknya kita mengikuti aturan sosial yang membatasi cara kita berbicara.Adakah di antara kamu yang berkomentar, “saya yakin banget kalo ini pasti bukan penistaan agama soalnya yang ngomong Habib Rizieq, jadi gak mungkin dia salah maupun didemo!” 

Jawabnya: Ya, memang itulah intinya! Masih tidak paham juga? Coba sesap kopimu dan aktifkan sel-sel kecil kelabu di otakmu itu... qiqiqiqi... :D

* Utterance (Tuturan)

Ahok: “...bapak ibu jangan mau dibohongi pakai al-maidah ayat 51...”
Habib: “...nipu umat pakai ayat quran, nipu umat pakai hadist...” (Silakan cari video lengkap masing2). Sudah paham dong struktur kalimat di atas? Siapa yang berbohong? Orang! Mereka yang menggunakan ayat.Bukan ayatnya? Bukan! Lantas apa peran ayat di sini? Alat untuk berbohong atau alat kebohongan.Lalu mengapa respon publik berbeda atas ucapan yang sama? Simak poin di bawah

*Speaker (Penutur) 

Ahok: Siapa Ahok? Seorang gubernur / pejabat pemerintah, beragama Nasrani. 
Apakah Ahok dipandang (oleh pendengarnya) sebagai orang yang mengerti Quran? Tidak. 
Mengerti tafsir Quran? Tidak.
Berkompetensi dalam menyampaikan ayat Quran? Tidak.
Mengimani Quran? Tidak.
Habib: Siapa Habib Rizieq? Seorang guru (ustad) yang memiliki jamaah (pengikut) yang mempercayainya sebagai orang yang berilmu agama. 
Apakah Habib dipandang (oleh pendengarnya) sebagai orang yang mengerti Quran dan Hadist? Ya.
Berkompetensi dalam menyampaikan ayat Quran? Ya.
Mengimani Quran? Ya.
Publik merespon Habib seperti pasien merespon dokternya. Habib dianggap lebih tau dan berilmu dari jamaahnya, memiliki kompetensi untuk membahas Quran, dan 
mengimaninya. Jamaah percaya yang disampaikan Habib adalah kebaikan. Sementara Ahok bukanlah orang yang diharapkan mengeluarkan komentar berkenaan ayat Quran.
 Selain tidak mengerti, tidak dapat membaca, dia juga tidak mengimani Al Quran. Walau Ahok berkata tidak bermaksud menistakan, publik menganggapnya tidak pantas.

*Situational Context (Konteks Situasi) 

Ahok: Menyampaikan dalam pertemuan kunjungan kerja yang ditujukan untuk mensosialisasikan prestasi kerja / program kerja pemerintah. Secara implisit, menyisipkan pesan kampanye politiknya dengan menyinggung ayat Quran. Disampaikan dalam ruang terbuka, di hadapan pendengar yang majemuk.
Habib: Menyampaikan dalam majelis ilmu, dalam tema yang ditujukan untuk membahas fenomena munculnya ulama yang memelintirkan ayat, menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Disampaikan dalam lingkup tertutup (terbatas), di hadapan jamaahnya sendiri. Ucapan Habib sesuai dengan tema pembahasannya, pada media (waktu dan tempat) yang sesuai. Seperti orang yang tertawa di tengah keriaan; pada tempatnya. Ibarat ucapan dokter yang pedih namun dinilai sebagai kebenaran. Publik meresponnya sebagai peringatan. Sementara Ahok mengucapkannya tidak pada konteks situasi yang dapat diterima. Publik meresponkan sebagai tuduhan (mereka yang berbohong) dan penistaan (alat kebohongan).

*Recipients (Petutur) 

Ahok: Penduduk pulau dan pegawai pemda. Pendengar majemuk (beragam agama). Tidak terdapat ikatan yang kuat dan kepercayaan antara pendengar dan pembicara terkait apa yang dituturkan. (Kemudian disebarkan dan mendapat perhatian publik yang lebih luas).
Habib: Jamaahnya sendiri. Pendengar tunggal (kaum muslim). Terdapat ikatan yang kuat dan kepercayaan antara pendengar dan pembicara terkait apa yang dituturkan. 
Pada kasus Ahok, pendengar hanya berharap Ahok berbicara terkait agenda kunjungan kerjanya dan tidak berharap Ahok menyinggung ayat Quran dalam pemaparannya. Seperti tamu yang datang berkunjung, mereka tidak berharap tuan rumah mengkritisi penampilannya. Itu dianggap tidak sopan. Sedangkan Habib berhadapan dengan jamaah yang memang datang untuk mendengar tausiyah sesuai tema. Jamaah siap mendengar apapun yang dikatakan Habib. Seperti teman yang memang dengan sadar datang meminta saran, dia akan bersiap dengan penilaian buruk.“Jadi, subjektif dong?” Benar!
Makna bahasa itu tidak mutlak sama. Jangan karena A berkata hal yang sama seperti B, lantas pendengar dituntut merespon dengan cara yang sama. Jika tidak sama, maka pasti benci dengan salah satunya. 

Aaaah, terlalu sempit untuk cepat berprasangka demikian. Coba nikmati kopimu... :D

Julia T Wood, dalam bukunya Interpersonal Communication (2010) berkata “The meanings of language are subjective.” Because symbols are abstract, ambiguous, and arbitrary; the meaning of words are never self-evident or absolute (Duck, 1994a, 1994b; Shotter, 1993). Kita mengkonstruksi makna dalam proses interaksi dengan orang lain melalui dialog yang mengalir dan tercerna di kepala kita. Language use is rule-guided! (Wood, 2010). Kalian yang pernah ikuti kelas Bahasa Inggris (saya) tentu paham dengan aturan yang mengatur pengucapan (rules that govern pronunciation / phonology) dan struktur kalimat (sentence structure / syntax). Selain dua aturan tersebut ada aturan komunikasi (communication rules), yang terbagi pemahaman atas apa arti komunikasi dan jenis komunikasi apa yang pantas (sesuai) dalam situasi tertentu. 

Kalian yang pernah ikuti kelas Public Relations (saya) tentunya juga lazim dalam menyusun perencanaan komunikasi strategis, kita selalu lebih dulu menganalisa target audience, merancang key messages, menentukan key speaker, dan media yang digunakan untuk menyampaikan pesan (key messages). Why? Because that all matters!Jadi, jika ingin berteriak, pastikan kamu sadar apa yang kamu teriakkan. 

Silakan berkomentar, namun pastikan komentarmu tidak asbun :D 
“Pasti karena Ahok Cina Kristen...!” --> karena Ahok Kristen, mungkin saja, tapi tidak ada hubungannya dengan Ahok Cina. Ini contoh komentar asbun  :D

“DR. Zakir Naik juga suka ngutip kitab agama lain, kenapa Ahok dipermasalahkan?” --> Jika Ahok adalah seorang ahli perbandingan agama, berbicara di tengah forum yang memang diperuntukkan membahas perbandingan agama, di hadapan audience yang memang datang dengan kesadaran dan bersiap mendengarkan apa yang dikatakan sesuai tema seperti apa yang dilakukan DR Naik, tentunya silakan saja... :D

“Ini pasti dipolitisasi!” --> Ahok adalah seorang politisi, yang bergabung dalam partai politik, yang sedang melakukan kampanye politik, pernyataannya keluar dalam ranah politik, saat sedang menyelipkan pesan politiknya. Apa yang kamu harapkan jika kenyataannya seperti ini? :D

Get up, leave your cocoon and take some fresh air! Mengharapkan kasus ini bebas politisasi adalah tidak mungkin. Tahukah kamu, sebuah tabung akan tampak seperti lingkaran jika kamu hanya melihatnya dari sisi atas. Coba berkeliling mendapatkan perspektif lain. Andaikan kamu tidak mendapati bentuk tabung dengan jelas, setidaknya kamu tidak ngotot mempertahankan yang kau lihat adalah lingkaran.Jangan mudah menuduh mereka yang bergerak adalah orang yang penuh kebencian. 
Nyatanya mereka yang mudah menghujat orang lain penuh kebencian adalah mereka yang tidak dapat melihat hal lain selain kebencian. Jika kamu tidak bisa mengerti apa yang orang lain rasa, jangan paksa mereka menuruti pemahamanmu.

Tahukah kamu kenapa kain flannel terlihat indah? Karena masing-masing kotak menjaga proporsinya dan mendekatkan diri dengan kotak lainnya, sehingga tercipta pola yang indah. Bayangkan jika kotak satu mengambil porsi kotak lainnya dan saling menjauh? Tidak akan ada selembar kain flannel :D
Aaah..., kopi saya sudah menjadi dingin. Mari minum teh saja...! ;)


Okeeh, saya rasa ini adalah penjelasan sederhana. Gampang dmengerti sebenarnya, kalau kita mau mengerti. Silakan share jika mencerahkan; jangan share jika untuk balas-balasan.

Crystal, David. 1987. The Cambridge Encyclopedia of Language. Cambridge: Cambridge University Press
Duck, S.W. 1994a. Meaningful Relationships. Thousand Oaks, CA: Sage.
Duck, S.W. 1994b. Steady as (s)he goes: Relational Maintenance as a Shared Meaning System.
Shotter. J. 1993. Conversational Realities: The Construction of Life through Language. Newbury Park, CA: Sage
Wood, Julia T. 2010. Interpersonal Communication: Everyday Encounters. 6th Edition. Wadsworth: Wadsworth Cengage Learning

Sunday, August 7, 2016

Happy Birthday Suryani Annisa



Jika bicara tentang “Happy Birthday”, pasti kita ngebayangin tentang kue ulang tahun yang ada lilin-lilinnya, surprise, ataupun hadiah. Tapi bagi saya itu adalah momen yang sangat juga menyedihkan. Kenapa? Itu adalah momen dimana saya bisa mengingat apa saja yang telah saya lalui tahun ini. Apakah saya merugikan diri sendiri atau orang lain? Apakah saya bahagia melaluinya? Apa sajakah yang telah saya capai selama ini dengan umur segini, bla bla bla. Dan secara tidak sadar saya pasti menangis. Menangis karena menyadari tahun-tahun ini dilalui dengan berat, tapi akhirnya bisa melewatinya. Menangis menyadari betapa banyak kehilangan waktu. Dan pokoknya menangis untuk hal-hal yang terlewatkan.
Melewati hari-hari dimana saya akan memasuki usia 25 tahun dalam beberapa hari lagi, pertanyaan-pertanyaan yang umum diajukan untuk usia segitu bagi perempuan kembali muncul. Kapan menikah? Dan seperti biasa, saya menjawab dengan senyum. Kenapa senyum ? Saya tersenyum dengan mereka yang kepo dengan hidup saya. Itu saja. Mungkin saja ini pertanda mereka care dengan saya, atau Cuma sekedar ingin tau. Makanya, saya hanya senyum.
Menanti hari-hari dimana saya akan memasuki usia 25 tahun, bagi saya biasa saja. Ditemani pekerjaan yang sangat banyak, jauh dari orang tua, kos juga jauh dari Abang yang satu-satunya ada di Bekasi, juga dengan orang dekat yang sangat cuek. Saya tidak berharap banyak untuk mendapat kejutan atau sejenisnya. Mereka ingat saja itu adalah hal yang luar biasa. Hahahaha.
Menjelang hari H (cieileee Hari H), ada beberapa ajakan dari teman untuk ngumpul-ngumpul  di hari H itu. Sejujurnya saya senang diajak mereka. Tapi kurang terlalu bersemangat. Sampai datang ajakan dari orang dekat yang sangat cuek. Katanya sih karena sudah lama nggak ketemu. Yaudah, saya “oke” kan ajakan tersebut.  Saya terima ajakan tersebut dengan “tidak berharap” dia akan mengingat hari Ulang Tahun Saya. Karena dia bukan orang seperti itu sih menurut saya. Bukan tipe orang yang ingat tanggal-tanggal seperti itu.
Pada hari H, seperti biasa kita janjian dihalte  busway. Karena janjiannya kali ini mau ke Taman Mini, kita ketemu di halte Stasiun cawang saja. Yap, menurut saya itu memang lebih ke tengah sih. Dari Depok dan dari Matraman. Daaan Ketemu. Setelah itu, kita transit ke halte busway cawang  ke arah pinang ranti. Selagi kita jalan ke halte busway cawang, dia beratraksi aneh, dan saya jujur nggak mengerti. Dan setelah atraksinya selesai, dia mengucapkan selamat ulang tahun  dengan muka tertawa yang paling bahagia dan lucu menurut saya selama melihat raut wajahnya. Saya tertawa. Lebaaar sekali. Melihat orang secuek dia  melakukan seperti itu, mungkin hal yang sangat jarang sekali. Dan ketika menyaksikan ini, “it’s a gift” I think. Thanks God !
Setelah dapat busway, kita menunggu perjalanan berakhir di halte busway Taman Mini Garuda.  Dan alhamdulilah dapat duduk, jadi ya walalupun macet, nggak masalah. Sesampai diTaman Mini, kita ke tempat  sewa sepeda. Karena taman mini sangat luas sekali, nggak mungkin untuk jalan kaki. Bisa-bisa bengkak kaki jika harus jalan kaki. Ujung-ujungnya, kita sewa motor. 40Rb.
Seharian, keinginan saya dituruti, klo inginnya muter-muter geje, dituruti. Ke Museum Hakka, dituruti. Ke Museum Pejuang, dituruti. Dan bahkan berfoto alay pun, dituruti. Hahaha. Katanya sih karena hari ini adalah hari spesial saya. Intinya seharian itu, kita wara-wiri nggak jelas, tapi menyenangkan.
Menjelang  maghrib kita sudah dibusway lagi menuju pulang. Tapi tiba-tiba saya ingin ke Monas. Daaaan, Oke. Kita meluncur ke Monas. Tapi apesnya, monas Cuma buka sampai jam 8. Dia dari tadi mondar mandir mencari sesuatu. Tapi, ketika ditanya, dia ingin mencari sesuatu. Sampai akhirnya Dia menyuruh saya untuk duduk manis dan menunggunya muter-muter Monas sendiri. Karena saya lelah, yaudah. Saya biarkan dia muter-muter sendiri di Monas yang seluas itu. Entah mencari apa, saya juga nggak tahu. Menjelang jam 8 dia kembali ketempat saya duduk manis. Saya menanyakan apakah yang dia cari udah ketemu? Ternyata dia menggeleng lemas. Saya juga kurang tau sih apa yang dia cari. Ketika ditanyakan, dia Cuma bilang “sesuatu”.
Dia keliatan desprete sekali. Lalu saya menanyakan, apakah yang dia cari itu ada di Kota Tua? Jika iya, kita kesana. Dan dia mengangguk. Oke berangkat lagi nais busway ke Kota Tua.Tapi diluar dugaan, Kota Tua ramai sekali. Mungkin karena Monas dibatasi sampai jam 8 malam saja, rata-rata penjual yang notabene dari Monas, ngumpul di Kota Tua.
Keluar halte busway, kita menuju Taman Fatahillah. Ramenya minta ampun. Untuk jalan aja susah. Tapi dia tetap mengajak saya berputar sampai ke ujung. Lautan manusia tambah rame malam itu. Puas berputar, dia meminta saya duduk di pojokan kafe dan dia pergi ke lautan manusia tadi. Sejujurnya saya mulai pusing dengan keramaian. Plus  bingung dengan yang dia cari. Minimal kalau dikasih tau, saya bisa bantu cari. Yang namanya cowok memang membingungkan.
Dari kejauhan saya melihat dia kembali. Memegang bungkusan di tangan. Entah apa itu. Tiba-tiba Dia memberikan ke saya bungkusan itu. Saya kaget, ternyata barang-barang yang dia cari dari Monas, sampe muter-muter cantik bingung gitu, juga muter-muter di kota sampe nerobos lautan manusia, itu adalah untuk saya. Heol, sedikit terharu juga kaget. Dikasih boneka biru di dalam botol dan ujungnya diberi pita. Manis sekali bonekanya. Terlebih lagi warnanya biru. Nomu nomu gomawo ... 


J.  Mungkin karena capek muter-muter sai dimonas dan kota, dia lapar. Lalu kita makan.
Yap menutup hari ini, hari yang menyenangkan. Ini adalah kado terindah dimana seseorang yang meluangkan waktumu pada hari itu. Kalaupun sebenarnya nggak dikasih boneka, itu pun nggak apa-apa. Tapi ternyata boneka biru ini memang manis sekali. Diberikan waktu yang berharga bersama orang yang kamu sayangi, adalah “Gift” yang belum tentu didapatkan semua orang.

Terimakasih

Tuesday, February 9, 2016

Dari Manakah Asal Gelar Sidi Pada Masyarakat Pariaman (Keturunan Nabi Muhammad SAW)


Haloo, kali ini saya bakal bahas sedikit tentang Pariaman. Tau Pariaman? Pariaman adalah salah satu daerah yang ada di pesisir barat pantai Sumatera.  Kenapa saya ingin membahas tentang pariaman ? Karena : 
  1. Tanah kelahiran saya (Orang pariaman cieee)
  2. Di daerah Pariaman, ada gelar "SIDI" yang menjadi misteri, Dari manakah asal muasal gelar SIDI ini? 
Nah, mari kita lihat beberapa bahasan yang saya kumpulkan dari berbagai sumber. 


BANGSA MELAYU DIDATARAN TINGGI MINANG

Daerah Pariaman merupakan kawasan pesisir pantai jauh sebelum kedatangan bangsa bangsa Indochina dipimpin oleh Dapunta Hyang telah dihuni oleh bangsa Gujarat, Malabar dan Srilanka dan jauh sebelumnya telah ada ras Negrito dan Austronesia yang mendiami kawasan tersebut. Ekspansi yang dipimpin oleh Dapunta Hyang bergerak dari daerah Minangatamwan yang berada dimuara sungai kampar kanan dan sungai kampar kiri menuju dataran tinggi sumatera barat, untuk seterusnya bergerak dan akhirnya menetap di Palembang mendirikan kerajaan Sriwijaya.

Kedatangan bangsa Indochina dibawah pimpinan Dapunta Hyang dianggap oleh para sejarawan sebagai migrasi kedua dari bangsa yang mendiami kawasan Asia selatan. Ada juga yang berpendapat bahwa migrasi pertama yang berasal dari Asia selatan, mereka berasal dari daerah yang bernama Dongson berkebudayaan perunggu dan mendiami daerah pegunungan Asia selatan. Sedangkan yang datang dan bergerak dari daerah Minangatamwan menuju dataran tinggi Sumatera Barat tidaklah dapat dikatakan sebagai migrasi penduduk. Lebih tepat dikatakan ekspansi bangsa Indocina yang bisa saja berasal dari Kamboja atau Champa. (Prasasti Kedudukan Bukit, 684 M)

Migrasi bangsa Indochina yang berasal dari pengunungan Dongson kawasan Asia Selatan adalah migrasi pertama yang berlangsung berabad-abad sehingga terjadi asimilasi dengan ras Negrito dan Austronesia kemudian melahirkan kebudayaan Neolitich.
Kedatangan bangsa Indochina melalui jalan ekspansi merupakan migrasi kedua yang dipimpin oleh Dapunta Hyang berhasil menaklukkan dataran tinggi Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu dan mendirikan Kerajaan Sriwijaya kemudian menyerang kerajaan Taruma Negara yang beragama Hindu di Pulau Jawa (Prasasti Talang Tuo, 685 M).
Oleh sejarawan, kedatangan bangsa Indochina, baik yang datang secara berimigrasi maupun yang datang melalui ekspansi sebagai nenek moyang bangsa Melayu dan nenek moyang bangsa Minangkabau.
Dapunta Hyang atau Sri Jayanasa mendirikan kerajaan Sriwijaya dan dinasty (wangsa) Syailendra sebagai penguasa kerajaan beragama Budha aliran Hinayana terkuat dan terbesar di Nusantara. Kemudian Adityawarman mendirikan kerajaan Malayupura (tulisan dibelakang Arca Amoghapasa, Prasasti Kuburajo, dan Prasasti Batusangkar) dan memindahkan pusat kerajaan tersebut di pedalaman Sumatera Barat. Pada tahun 1347 M kerajaan ini akhirnya lebih dikenal dengan Kerajaan Pagaruyung.
Adityawarman sendiri merupakan keturunan Raja Majapahit hasil perkawinan dengan Dara Jingga, Putri dari Kerajaan Dharmasraya. Adityawarman beragama Hindu dan Bidha (Sinkrentis). Sampai pada pertengahan Abad XIV kerajaan Pagaruyung masih beragama Budha yang dipadukan dengan Hindu.
Belum ada satu manuskrip yang menyatakan Islam sudah ada di dataran tinggi (Pedalaman) Sumatera Barat pada masa tersebut. Sekitar tahun 1513 barulah ada raja Pagaruyung yang memeluk Agama Islam, sebutan Raja berubah menjadi Sultan. Sultan pertama pagaruyung adalah Sultan Ahmadsyah dan Sultan pertama tersebut jelas bukanlah merupakan keturunan dari Aditywarman.
 BANGSA ARAB DI PARIAMAN
Situasi yang sangat berbeda bila dibandingkan dengan daerah pesisir pantai, Pariaman merupakan kawasan pesisir pantai dihuni oleh orang Gujarat dan Malabar yang berasal dari India. Pariaman atau dalam Hikayat Raja-raja Pasai disebut dengan Faryaman pada saat masuknya Dapunta Hyang ke dataran tinggi (pedalaman) Sumatera Barat, disini sudah mengakar kuat agama Hindu. Masyarakat Hindu membagi manusia dalam empat tingkatan struktur sosial atau yang lebih dikenal dengan Kasta.
Kasta Brahmana dikenal sebagai struktur masyarakat tertinggi, mereka adalah kaum pendeta. Kasta ini sangat menjaga kesopanan, etika dan moralitas yang tinggi dan umumnya mereka menjadi penasehat raja. Kasta Ksatria merupakan struktur masyarakat Hindu ditingkatan kedua, mereka adalah kaum bangsawan dan pembesar kerajaan umumnya mereka juga sangat menjaga kesopanan, etika dan moralitas. Kasta waisya merupakan struktur masyarakat Hindu ditingkatan ketiga, mereka adalah kaum pedagang dan pengusaha. Kasta Sudra dikenal juga sebagai orang paria, mereka adalah para pekerja kasar, tukang dan mengabdi pada kasta yang berada diatasnya, mereka tidak menjaga kesopanan dan punya moralitas yang sangat rendah.



Pada awal abad VII M seorang pendeta Budha (I Tsing) yang belajar dan menetap beberapa tahun di Kerajaan Sriwijaya menulis dalam catatan perjalanannya bahwa ada sekelompok masyarakat Arab beragama Islam yang mendiami pesisir pantai barat Sumatera. Masyarakat Arab yang pertama minginjakkan kaki dipantai barat Sumatera ini bisa saja berasal dari Hijaz kemudian melakukan perjalanan kewilayah India kemudian melakukan perjalanan dengan kapal dan sampailah mereka dipelabuhan Tiku dan menetap di daerah tersebut. Rombongan ini merupakan migrasi pertama dari dari turunan Imam Hasan dan Bani Ghasan.
Terjadinya pembantaian terhadap Bani Ghasan disebabkan Bani Ghasan tidak mengakui kekhalifahan Abu bakar oleh sebab itu mereka tidak mau membayar zakat. Ketidakmauan Bani Ghasan membayar zakat menjadi alat pembenaran oleh khalifah Abu Bakar untuk membantai Bani Ghasan, sehingga yang selamat melarikan diri ke Hijaz.
Pada tahun 680 M Imam Husain (cucu Nabi Muhammad SAW) syahid di Karbala dibantai oleh pasukan Yazid. Sebelumnya Imam Hasan berhadapan dengan Muawiyah bin Abi Sofyan dan dengan kelicikan berhasil membunuh Imam Hasan dengan cara meracuni melalui isteri Imam Hasan yang bernama Jad’ah. Beberapa Anak Imam Hasan bergabung dengan Bani Ghasan yang sudah lebih dahulu ada di Hijaz.
Anak keturunan Imam Hasan dan Imam Husein serta para pengikut setia mereka pasca pembantaian di Padang Karbala menyembunyikan diri di Hijaz dan kawasan sekitarnya. Kejaran dari serdadu Yazid memaksa mereka meninggalkan kampung halaman untuk menyelamatkan diri dengan mencari daerah yang jauh dan aman hal ini terjadi dipenghujung abad VI M. Sebahagian besar turunan Imam Husein Migrasi kewilayah Hadramaut kemudian menyebar kekawasan Asia tenggara dan pada pertengahan Abad ke IX salah satu turunan Imam Husein di rajakan di Peurelak. Ini merupakan migrasi kedua dari turunan Imam Hasan dan Imam Husein di Nusantara.
Kedatangan bangsa Arab diawal abad VII melalui Bandar Tiku diabadikan didalam cerita rakyat ditanah Minang (Ba Khaba). Kemudian bangsa Arab ini membuka perkampungan tidak jauh dari Bandar Tiku dan kampung tersebut sampai saat ini bernama Ghasan. Kemudian terjadi asimilasi dan akultrasi budaya Hindu dan Islam.
Diceritakan mendaratnya Sidi Nan Sabatang di Bandar Tiku beserta rombongan, Sidi Nan Sabatang tersebut membawa seluruh keluarganya. Isteri dan para pembantu serta para pengawal. Sidi Nan Sabatang tersebut punya sembilan anak laki-laki dan mereka lebih dikenal dengan sebutan Sidi Nan Sambilan. Sedangkan berapa jumlah anak perempuan Sidi Nan Sabatang tidak ada kabar beritanya, namun diceritakan anak perempuan Sidi Nan Sabatang tersebut dikawinkan dengan Raja Hindu yang sudah memeluk Agama Islam dan anak dari hasil perkawinan tersebut bergelar Bagindo.
Namun sampai saat ini tidaklah diketahui secara pasti Sidi Nan Sabatang tersebut berasal dari fam (keluarga) mana, bila ditelisik dari lintasan sejarah tentang tekanan yang dialami oleh turunan Imam Hasan dan Imam Husein serta jalur migrasi mereka maka besar kemungkinan turunan Imam Hasan lah yang mendarat di Tiku dan menyebar dikawasan Pariaman dan sekitarnya. Turunan Imam Hasan yang sampai di Tiku Pariaman berasal dari satu orang yaitu Sidi Nan Sabatang, kemudian mempunyai anak laki-laki yang disebut dengan Sidi Nan Sambilan, dari Sidi Nan Sambilan berkembanglah turunan Sidi selama 1300 tahun di Pariaman, mereka berkembang seperti butiran hujan yang turun ke bumi, bagaikan butiran pasir yang ada ditepian pantai.

TERPUTUSNYA NASAB SYAID PARIAMAN
Setelah terjadinya Islamisasi secara damai maka berubahlah struktur masyarakat Hindu Pariaman. Kasta berubah menjadi gala atau gelar. Brahmana menjadi Sidi dan mereka adalah pemuka agama Islam banyak diantara mereka menjadi Tuanku (panggilan Ulama Minang). Ksatria menjadi Bagindo dahulunya mereka adalah para pembesar kerajaan dan merupakan kaum bangsawan. Waisya menjadi Sutan, mereka adalah kaum pedagang dan pengusaha, gelar ini biasanya juga diberikan atau dihadiahkan kepada orang asing yang dihormati. Sudra atau Paria menjadi Marah ini merupakan struktur paling rendah dalam masyarakat Pariaman sampai saat ini. Orang yang bergelar Marah tak boleh dipanggil Rajo (Ajo), mereka biasanya dipanggil Uda seperti orang Minang yang mendiami dataran tinggi (pedalaman) Minang.
Gelar atau gala diwarisi secara turun temurun dari pihak ayah, sedangkan kekerabatan dari diwariskan dari pihak ibu (Matrilineal). Bila ayah seseorang begelar Sidi maka si anak juga bergelar Sidi (gala ndak dapek diasak), dan bila ibunya bersuku Chaniago maka si anak bersuku Chaniago. Mungkin hal ini menjadi salah satu penyebab para Sidi di Pariaman tidak mengetahui fam mereka, karena dibelakang nama mereka tidak dicantumkan fam seperti turunan Imam Husein yang datang dari Hadramaut ke Nusantara. Mereka biasanya mencantumkan suku dari ibu dibelakang nama sedangkan gelar didepan nama.
Seorang yang bergelar Sidi (singkatan dari Syaidi) haruslah mencantumkan gelar Siti (singkatan dari Syaidati) didepan nama anak perempuannya. Tak ada orang Pariaman yang berani mencantumkan gelar Siti didepan nama anak perempuannya kalau mereka bukan bergelar Sidi. Kalau di tanah Melayu anak perempuan dari turunan Said didepan namanya dicantumkan gelar Syarifah. Inilah kebiasaan yang berlangsung selama ribuan tahun, dan saat ini sudah jarang seorang perempuan dari turunan Sidi memakai gelar Siti.
Seorang yang bergelar Bagindo merupakan turunan pertama dari anak perempuan Sidi Nan Sabatang yang menikah dengan raja Hindu yang sudah memeluk agama islam. Anak laki-laki yang lahir dari perkawinan tersebut diberi gelar Bagindo dan untuk seterusnya gelar tersebut diwariskan kepada anak Laki-laki, sedangkan anak perempuan memakai gelar Puti. Pemakaian gelar Puti pada anak perempuan yang ayahnya bergelar Bagindo saat ini sudah hampir hilang atau hilang sama sekali.
Pemakaian gelar Siti untuk anak perempuan dari turunan Sidi maupun pemakaian gelar Puti untuk anak perempuan dari turunan Bagindo saat ini sudah hilang. Pemakaian gelar tersebut bukan saja untuk menguatkan identitas tapi lebih pada penjagaan diri si anak tersebut. Seorang Sidi kalau bertemu perempuan Pariaman yang bergelar Siti maka dia akan memperlakukannya dengan penuh hormat dan menganggapnya sebagai saudara kandung, demikian juga perlakuan yang diberikan kepada perempuan Pariaman yang bergelar Puti. Bila Sutan atau Marah bertemu perempuan Pariaman yang bergelar Siti atau Puti mereka akan menghormatinya dan tidak berani bersikap lancang. Penghormatan ini diberikan karena keduanya merupakan turunan dari Sidi Nan Sabatang yang merupakan zuryat (keturunan) Rasulullah Muhammad SAW.
Menurut Hamka turunan Rasulullah yang ada di Pariaman bergelar Sidi (Dari Perbendaharaan lama dan Panji Masyarakat) mereka bisa dikenali dari ciri-ciri fisiknya, berwajah arab atau berwajah oriental. Dari cerita rakyat (khaba) Pariaman, Sidi Nan Sabatang beristri seorang perempuan China.
SIDI BANGSA YANG DIRAJAKAN
Dalam adat istiadat masyarakat Pariaman Gala Pusako dari Ayah berbeda dengan orang Minang yang berasal dari dataran tinggi (pedalaman) Gala merupakan pusako dari Mamak ke kemenakan (dari paman ke kemenakan). Sewaktu orang-orang dari dataran tinggi menjadikan daerah Pariaman sebagai daerah Rantau (jajahan), Gala Pusako dari ayah tidak bisa digantikan dengan sistem adat yang dibawa dari dataran tinggi tersebut.
Rombongan yang datang dan mendarat di Bandar tiku (berbatasan dengan Luhak Nantigo) serta mendirikan perkampungan dan menamakannya kampung Ghasan (untuk mengenang asal mereka Bani Ghasan). Sidi nan sabatang beserta keluarga dirajakan (dirajokan/dihormati layaknya raja) oleh Bani Ghasan. Penduduk pribumi baik yang ada di Pariaman maupun yang datang dari dataran tinggi pada akhirnya juga merajakan mereka. Keturunan Sidi nan sabatang baik yang bergelar Sidi maupun Bagindo dipanggil dengan panggilan Ajo (Rajo). Sutan yang merupakan kaum pengusaha dan pedagang juga dirajokan atau dipanggil Ajo.
Panggilan Ajo merupakan panggilan dari seorang adik kepada abangnya, bisa juga panggilan untuk orang yang usianya lebih tua. Orang yang boleh dipanggil Ajo adalah seseorang yang bergelar Sidi, Bagindo dan Sutan. Panggilan Uda merupakan panggilan seorang adik kepada abangnya atau panggilan kepada seseorang yang usianya lebih tua.
Menurut adat di Pariaman seseorang yang bergelar Marah yang boleh dipanggil Uda. Kemudian Orang-orang yang datang dari dataran tinggi Minang juga dipanggil Uda oleh orang Pariaman karena mereka adalah penduduk asli Tanah Minang atau melayu Minangkabau atau kaum pribumi ranah Minang. Sama dengan penduduk yang lebih dulu ada di Pariaman ketika rombongan Sidi Nan Sabatang mendarat di Bandar Tiku juga dianggap sebagai bangsa pribumi.
Beginilah cara para Bani Hasyim yang sampai di Pariaman dalam menyikapi perbedaan antara Bani Hasyim dan penduduk asli melayu Minangkabau. Bangsa Melayu yang tinggal di dataran tinggi (pedalaman) bisa hidup secara damai dan harmonis walaupun berbeda dalam adat dan istiadat.
Orang-orang yang bergelar Sidi dan Bagindo di Pariaman lebih bersifat egaliter, Gelar tersebut tidak menjadikan mereka orang yang sombong dengan keturunannya. Mereka berbaur dengan masyarakat pribumi, juga terjadinya asimilasi melalui perkawinan, walaupun masih ada juga yang mempertahankan pernikahan sekufu (Siti untuk Sidi).
Datuk Parpatiah Nan Sabatang sebagai peletak dasar pemerintahan desentralisasi Bodi Chaniago dalam mamangan disebut “duduak sahamparan, tagak sapamatan.” Hal ini menyiratkan bahwa kedudukan raja dan rakyat adalah sama didalam hukum (Demokrasi). Sistem ini memandang semua orang sama dan sederajat secara hukum, inilah yang menjadikan masyarakat Pariaman menjadi egaliter. Sangat berbeda dengan sistem sentralistik pemerintahan Koto Piliang yang dibangun oleh Datuk Katumangguangan, yang didalam mamangan disebutkan “Rajo ditantang, mato buto.” Hal ini bermakna bahwa raja punya kekuasaan yang Absolut, sehingga rakyat harus menjalankan apapun titah raja (Feodal).
Pada perkembangannya terjadi perpaduan kedua sistem tersebut yang didalam mamangan disebut “Rajo alim rajo disambah, rajo zalim rajo dibantah”. Sampai saat ini sistem inilah yang digunakan oleh masyarakat Minangkabau, yang bermakna ketika seorang penguasa memimpin dengan adil maka rakyat akan menghormati, ketika seorang penguasa berlaku zalim terhadap rakyat maka penguasa tersebut wajib untuk tidak didukung bahkan digulingkan dari kekuasaannya.
SEBAB MUSABAB HILANGNYA GELAR SIDI
Ada perbedaan yang fundamental antara zuryat Rasulullah di Pariaman dan dan zuryat Rasulullah didaerah lain di Nusantara dalam hal menjaga gelar keturunan. Gelar Sidi dalam adat yang berlaku di Pariaman bisa saja hilang diakibatkan beberapa hal, diantaranya adalah gelar Sidi disandang dan dilekatkan ketika seorang dari turunan Sidi sudah menikah, maka keluarga pihak perempuan memanggil menantunya, atau iparnya tersebut dengan gelar yang disandangnya. Bila dia tidak menikah sampai akhir hanyat maka dia tidak pernah dipanggil dengan gelar yang disandangnya.
Sebab lain adalah ketika keturunan Sidi menikah dengan orang yang tidak sebangsa (Pariaman), misalnya menikah dengan perempuan Jawa atau perempuan dari suku lain yang ada di Nusantara. Maka tentu saja pihak keluarga perempuan, apakah itu ipar atau mertua tidak ada yang memanggil Sidi. Menikah dengan penduduk asli Minang yang berasal dari Luhak Nan Tigo (Agam, Tanah datar, Limo Puluh Koto), oleh mereka siapapun menantu mereka, apapun bangsa menantu mereka, apakah bergelar Sidi, Bagindo, Sutan atau Marah, apakah berasal dari Pariaman atau daerah lain tetap saja dipanggil Sutan.
Adapun sebab lain adalah malu menyandang gelar Sidi, seorang yang bergelar Sidi biasanya malu dipanggil Sidi bila sikap dan moralnya tidak baik. Hal yang sangat mendasar menjadi penyebab hilangnya gelar Sidi tersebut adalah gelar tersebut tidak disandangkan kepada nama anak keturunan sejak lahir. Sangat berbeda dengan turunan Alawy yang datang pada awal abad VIII sampai dipenghujung abad XVI, mereka menyandangkan gelar tersebut didepan nama anaknya sejak mereka lahir.

Tulisan ini bukan untuk membanggakan keturunan tertentu atau merendahkan keturunan yang lain, hal ini semata-mata untuk mengingatkan penulis sendiri. Ketika kita menghadap Allah yang ditanyakan adalah amal dan ibadah yang kita lakukan semasa hidup bukan dari keturunan siapa kita berasal.

Wednesday, December 30, 2015

A Cyclone

Langit malam yang tenang dan dipenuhi bintang adalah tempat terindah yang tak pernah ingin ku tinggalkan. Aku terus bersama langit malam itu. Memandangi bulan dan bintang. Sesekali memperhatikan guratan awan putih di langit yang biru. Begitu mempesona dan aku tak ingin malam ini berakhir.



Begitu mengecewakan seolah aku tak ada artinya menghabiskan malam menatap langit itu, pagi datang dengan tergesa-gesa. Memudarkan semua keindahan yang telah tercipta. aku mengutuk dalam hati. Aku bersumpah, tidak akan menerima pagi. Tapi, hatiku tersentuh karena pagi begitu suci. begitu dingin. Seolah-olah dia tahu, aku  sedang merasakan kebekuan karena langit malam telah pergi.



Aku membuka pikiran. Menyelami sedikit kedasar hati, Mencari-cari apakah aku benar-benar  tidak mengagumi pagi? Di sana ada embun segar, ada kicau burung, terlihat mentari pagi, terdengar gemericik sungai. Ada pepohonan yang rimbun,dan masih basah oleh embun. Sebegitu bekukah hati ku membenci pagi?? Ternyata tidak. Pagi, membuatku semangat menjalani kehidupan dengan semua anugrah yang tuhan berikan saat itu. Aku berdecak kagum. Ah, ternyata pagi juga tidak ingin lama-lama bermain denganku. Katanya, sekarang sudah bukan tugasnya. Ada yang lebih pantas, katanya.



Aku terdiam, menunggu kedatangan yang dipercaya oleh pagi. Aku menyipitkan mata. Silau, panas, dan gersang. Aku mengernyitkan dahi. Apakah ini yg pagi kaatakan lebih pantas?? Aku tidak mau merutuk lagi. Aku hanya mencoba melewati panas yang dipancarkan mentari. Ternyata ia bernama siang. Oh sungguh sulit bagiku yang terbiasa dengan dingin dan beku. Tapi, perlahan-lahan, sinar mentari itu menghangatkan aku yang dingin dan beku Tidak sekaligus, tetapi perlahan-lahan. Katanya, kalau perlahan-lahan, bumi yang rusak pun tak akan tersa lagi. Aku benci, aku berharap siang itu pergi. Tapi aku menyaksikan kebaikan siang. Di sana ada burung camar, di atas langit, ada tikus tanah mencari makanan,, kulihat bapak-bapak yang berjualan es tebu sambil melayani banyak pembeli. Ada guru yang mengajari murid-muridnya. Ada anak kecil bermain di lapangan kecil di belakang rumah. Aku terharu.. melihat siang, dan tak ingin kebahagiaan manusia menjadi hilang. Buru-buru dia pergi. Katanya, dia mau mandi. Ia sudah membahagiakan jutaan makhluk dibumi, begitu banyak peluh yang diciptakan siang. Aku menahannya. Katanya, jangan. Kalau aku tetap di sini, akan menjadi bencana bagi makhluk di dunia.



Aku diam. lagi-lagi menyaksikan siang perlahan tergelincir. Perlahan semilir angin sore membelaiku. Lembut. Inikah yang akan datang menggantikan siang?? Sore, kau kah itu??dia menjawab. Ya. Tapi aku cuma numpang lewat karena aku sebentar lagi akan menjadi malam. (Aku protes) Tapi kenapa pagi,siang,engkau(sore), bahkan malam tidak pernah bertahan lama di sini?? Adakah aku telah membuatmu marah atau bosan?? (sore tersenyum) : Aku tidak akan menjawabnya. Karena kau lebih tau jawabannya. Aku pergi dulu, dia  akan datang. Malam merajai dunia kembali. Aku bahagia, karena sebenarnya yang kutunggu adalah engkau, malam. Juga pagi, siang, dan sore.

Gelap semakin menjalari dunia ini. Perlahan-lahan, lampu menghiasi malam. Bintang-bintang bermunculan. Awan-awan  dilukis oleh sang pencipta. Bebunyian memenuhi semesta alam. Semua istirahat melepas penat seharian. Karena esok masih ada mentari.



“Tulisan ini saya posting di social media facebook saya tanggal 22 September 2009. Bahkan, saya lupa bahwa saya pernah sepuitis itu” 

Nb : Some moments captured and post on my IG : suryaniannisa

Social Icons