Tuesday, February 9, 2016

Dari Manakah Asal Gelar Sidi Pada Masyarakat Pariaman (Keturunan Nabi Muhammad SAW)


Haloo, kali ini saya bakal bahas sedikit tentang Pariaman. Tau Pariaman? Pariaman adalah salah satu daerah yang ada di pesisir barat pantai Sumatera.  Kenapa saya ingin membahas tentang pariaman ? Karena : 
  1. Tanah kelahiran saya (Orang pariaman cieee)
  2. Di daerah Pariaman, ada gelar "SIDI" yang menjadi misteri, Dari manakah asal muasal gelar SIDI ini? 
Nah, mari kita lihat beberapa bahasan yang saya kumpulkan dari berbagai sumber. 


BANGSA MELAYU DIDATARAN TINGGI MINANG

Daerah Pariaman merupakan kawasan pesisir pantai jauh sebelum kedatangan bangsa bangsa Indochina dipimpin oleh Dapunta Hyang telah dihuni oleh bangsa Gujarat, Malabar dan Srilanka dan jauh sebelumnya telah ada ras Negrito dan Austronesia yang mendiami kawasan tersebut. Ekspansi yang dipimpin oleh Dapunta Hyang bergerak dari daerah Minangatamwan yang berada dimuara sungai kampar kanan dan sungai kampar kiri menuju dataran tinggi sumatera barat, untuk seterusnya bergerak dan akhirnya menetap di Palembang mendirikan kerajaan Sriwijaya.

Kedatangan bangsa Indochina dibawah pimpinan Dapunta Hyang dianggap oleh para sejarawan sebagai migrasi kedua dari bangsa yang mendiami kawasan Asia selatan. Ada juga yang berpendapat bahwa migrasi pertama yang berasal dari Asia selatan, mereka berasal dari daerah yang bernama Dongson berkebudayaan perunggu dan mendiami daerah pegunungan Asia selatan. Sedangkan yang datang dan bergerak dari daerah Minangatamwan menuju dataran tinggi Sumatera Barat tidaklah dapat dikatakan sebagai migrasi penduduk. Lebih tepat dikatakan ekspansi bangsa Indocina yang bisa saja berasal dari Kamboja atau Champa. (Prasasti Kedudukan Bukit, 684 M)

Migrasi bangsa Indochina yang berasal dari pengunungan Dongson kawasan Asia Selatan adalah migrasi pertama yang berlangsung berabad-abad sehingga terjadi asimilasi dengan ras Negrito dan Austronesia kemudian melahirkan kebudayaan Neolitich.
Kedatangan bangsa Indochina melalui jalan ekspansi merupakan migrasi kedua yang dipimpin oleh Dapunta Hyang berhasil menaklukkan dataran tinggi Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu dan mendirikan Kerajaan Sriwijaya kemudian menyerang kerajaan Taruma Negara yang beragama Hindu di Pulau Jawa (Prasasti Talang Tuo, 685 M).
Oleh sejarawan, kedatangan bangsa Indochina, baik yang datang secara berimigrasi maupun yang datang melalui ekspansi sebagai nenek moyang bangsa Melayu dan nenek moyang bangsa Minangkabau.
Dapunta Hyang atau Sri Jayanasa mendirikan kerajaan Sriwijaya dan dinasty (wangsa) Syailendra sebagai penguasa kerajaan beragama Budha aliran Hinayana terkuat dan terbesar di Nusantara. Kemudian Adityawarman mendirikan kerajaan Malayupura (tulisan dibelakang Arca Amoghapasa, Prasasti Kuburajo, dan Prasasti Batusangkar) dan memindahkan pusat kerajaan tersebut di pedalaman Sumatera Barat. Pada tahun 1347 M kerajaan ini akhirnya lebih dikenal dengan Kerajaan Pagaruyung.
Adityawarman sendiri merupakan keturunan Raja Majapahit hasil perkawinan dengan Dara Jingga, Putri dari Kerajaan Dharmasraya. Adityawarman beragama Hindu dan Bidha (Sinkrentis). Sampai pada pertengahan Abad XIV kerajaan Pagaruyung masih beragama Budha yang dipadukan dengan Hindu.
Belum ada satu manuskrip yang menyatakan Islam sudah ada di dataran tinggi (Pedalaman) Sumatera Barat pada masa tersebut. Sekitar tahun 1513 barulah ada raja Pagaruyung yang memeluk Agama Islam, sebutan Raja berubah menjadi Sultan. Sultan pertama pagaruyung adalah Sultan Ahmadsyah dan Sultan pertama tersebut jelas bukanlah merupakan keturunan dari Aditywarman.
 BANGSA ARAB DI PARIAMAN
Situasi yang sangat berbeda bila dibandingkan dengan daerah pesisir pantai, Pariaman merupakan kawasan pesisir pantai dihuni oleh orang Gujarat dan Malabar yang berasal dari India. Pariaman atau dalam Hikayat Raja-raja Pasai disebut dengan Faryaman pada saat masuknya Dapunta Hyang ke dataran tinggi (pedalaman) Sumatera Barat, disini sudah mengakar kuat agama Hindu. Masyarakat Hindu membagi manusia dalam empat tingkatan struktur sosial atau yang lebih dikenal dengan Kasta.
Kasta Brahmana dikenal sebagai struktur masyarakat tertinggi, mereka adalah kaum pendeta. Kasta ini sangat menjaga kesopanan, etika dan moralitas yang tinggi dan umumnya mereka menjadi penasehat raja. Kasta Ksatria merupakan struktur masyarakat Hindu ditingkatan kedua, mereka adalah kaum bangsawan dan pembesar kerajaan umumnya mereka juga sangat menjaga kesopanan, etika dan moralitas. Kasta waisya merupakan struktur masyarakat Hindu ditingkatan ketiga, mereka adalah kaum pedagang dan pengusaha. Kasta Sudra dikenal juga sebagai orang paria, mereka adalah para pekerja kasar, tukang dan mengabdi pada kasta yang berada diatasnya, mereka tidak menjaga kesopanan dan punya moralitas yang sangat rendah.



Pada awal abad VII M seorang pendeta Budha (I Tsing) yang belajar dan menetap beberapa tahun di Kerajaan Sriwijaya menulis dalam catatan perjalanannya bahwa ada sekelompok masyarakat Arab beragama Islam yang mendiami pesisir pantai barat Sumatera. Masyarakat Arab yang pertama minginjakkan kaki dipantai barat Sumatera ini bisa saja berasal dari Hijaz kemudian melakukan perjalanan kewilayah India kemudian melakukan perjalanan dengan kapal dan sampailah mereka dipelabuhan Tiku dan menetap di daerah tersebut. Rombongan ini merupakan migrasi pertama dari dari turunan Imam Hasan dan Bani Ghasan.
Terjadinya pembantaian terhadap Bani Ghasan disebabkan Bani Ghasan tidak mengakui kekhalifahan Abu bakar oleh sebab itu mereka tidak mau membayar zakat. Ketidakmauan Bani Ghasan membayar zakat menjadi alat pembenaran oleh khalifah Abu Bakar untuk membantai Bani Ghasan, sehingga yang selamat melarikan diri ke Hijaz.
Pada tahun 680 M Imam Husain (cucu Nabi Muhammad SAW) syahid di Karbala dibantai oleh pasukan Yazid. Sebelumnya Imam Hasan berhadapan dengan Muawiyah bin Abi Sofyan dan dengan kelicikan berhasil membunuh Imam Hasan dengan cara meracuni melalui isteri Imam Hasan yang bernama Jad’ah. Beberapa Anak Imam Hasan bergabung dengan Bani Ghasan yang sudah lebih dahulu ada di Hijaz.
Anak keturunan Imam Hasan dan Imam Husein serta para pengikut setia mereka pasca pembantaian di Padang Karbala menyembunyikan diri di Hijaz dan kawasan sekitarnya. Kejaran dari serdadu Yazid memaksa mereka meninggalkan kampung halaman untuk menyelamatkan diri dengan mencari daerah yang jauh dan aman hal ini terjadi dipenghujung abad VI M. Sebahagian besar turunan Imam Husein Migrasi kewilayah Hadramaut kemudian menyebar kekawasan Asia tenggara dan pada pertengahan Abad ke IX salah satu turunan Imam Husein di rajakan di Peurelak. Ini merupakan migrasi kedua dari turunan Imam Hasan dan Imam Husein di Nusantara.
Kedatangan bangsa Arab diawal abad VII melalui Bandar Tiku diabadikan didalam cerita rakyat ditanah Minang (Ba Khaba). Kemudian bangsa Arab ini membuka perkampungan tidak jauh dari Bandar Tiku dan kampung tersebut sampai saat ini bernama Ghasan. Kemudian terjadi asimilasi dan akultrasi budaya Hindu dan Islam.
Diceritakan mendaratnya Sidi Nan Sabatang di Bandar Tiku beserta rombongan, Sidi Nan Sabatang tersebut membawa seluruh keluarganya. Isteri dan para pembantu serta para pengawal. Sidi Nan Sabatang tersebut punya sembilan anak laki-laki dan mereka lebih dikenal dengan sebutan Sidi Nan Sambilan. Sedangkan berapa jumlah anak perempuan Sidi Nan Sabatang tidak ada kabar beritanya, namun diceritakan anak perempuan Sidi Nan Sabatang tersebut dikawinkan dengan Raja Hindu yang sudah memeluk Agama Islam dan anak dari hasil perkawinan tersebut bergelar Bagindo.
Namun sampai saat ini tidaklah diketahui secara pasti Sidi Nan Sabatang tersebut berasal dari fam (keluarga) mana, bila ditelisik dari lintasan sejarah tentang tekanan yang dialami oleh turunan Imam Hasan dan Imam Husein serta jalur migrasi mereka maka besar kemungkinan turunan Imam Hasan lah yang mendarat di Tiku dan menyebar dikawasan Pariaman dan sekitarnya. Turunan Imam Hasan yang sampai di Tiku Pariaman berasal dari satu orang yaitu Sidi Nan Sabatang, kemudian mempunyai anak laki-laki yang disebut dengan Sidi Nan Sambilan, dari Sidi Nan Sambilan berkembanglah turunan Sidi selama 1300 tahun di Pariaman, mereka berkembang seperti butiran hujan yang turun ke bumi, bagaikan butiran pasir yang ada ditepian pantai.

TERPUTUSNYA NASAB SYAID PARIAMAN
Setelah terjadinya Islamisasi secara damai maka berubahlah struktur masyarakat Hindu Pariaman. Kasta berubah menjadi gala atau gelar. Brahmana menjadi Sidi dan mereka adalah pemuka agama Islam banyak diantara mereka menjadi Tuanku (panggilan Ulama Minang). Ksatria menjadi Bagindo dahulunya mereka adalah para pembesar kerajaan dan merupakan kaum bangsawan. Waisya menjadi Sutan, mereka adalah kaum pedagang dan pengusaha, gelar ini biasanya juga diberikan atau dihadiahkan kepada orang asing yang dihormati. Sudra atau Paria menjadi Marah ini merupakan struktur paling rendah dalam masyarakat Pariaman sampai saat ini. Orang yang bergelar Marah tak boleh dipanggil Rajo (Ajo), mereka biasanya dipanggil Uda seperti orang Minang yang mendiami dataran tinggi (pedalaman) Minang.
Gelar atau gala diwarisi secara turun temurun dari pihak ayah, sedangkan kekerabatan dari diwariskan dari pihak ibu (Matrilineal). Bila ayah seseorang begelar Sidi maka si anak juga bergelar Sidi (gala ndak dapek diasak), dan bila ibunya bersuku Chaniago maka si anak bersuku Chaniago. Mungkin hal ini menjadi salah satu penyebab para Sidi di Pariaman tidak mengetahui fam mereka, karena dibelakang nama mereka tidak dicantumkan fam seperti turunan Imam Husein yang datang dari Hadramaut ke Nusantara. Mereka biasanya mencantumkan suku dari ibu dibelakang nama sedangkan gelar didepan nama.
Seorang yang bergelar Sidi (singkatan dari Syaidi) haruslah mencantumkan gelar Siti (singkatan dari Syaidati) didepan nama anak perempuannya. Tak ada orang Pariaman yang berani mencantumkan gelar Siti didepan nama anak perempuannya kalau mereka bukan bergelar Sidi. Kalau di tanah Melayu anak perempuan dari turunan Said didepan namanya dicantumkan gelar Syarifah. Inilah kebiasaan yang berlangsung selama ribuan tahun, dan saat ini sudah jarang seorang perempuan dari turunan Sidi memakai gelar Siti.
Seorang yang bergelar Bagindo merupakan turunan pertama dari anak perempuan Sidi Nan Sabatang yang menikah dengan raja Hindu yang sudah memeluk agama islam. Anak laki-laki yang lahir dari perkawinan tersebut diberi gelar Bagindo dan untuk seterusnya gelar tersebut diwariskan kepada anak Laki-laki, sedangkan anak perempuan memakai gelar Puti. Pemakaian gelar Puti pada anak perempuan yang ayahnya bergelar Bagindo saat ini sudah hampir hilang atau hilang sama sekali.
Pemakaian gelar Siti untuk anak perempuan dari turunan Sidi maupun pemakaian gelar Puti untuk anak perempuan dari turunan Bagindo saat ini sudah hilang. Pemakaian gelar tersebut bukan saja untuk menguatkan identitas tapi lebih pada penjagaan diri si anak tersebut. Seorang Sidi kalau bertemu perempuan Pariaman yang bergelar Siti maka dia akan memperlakukannya dengan penuh hormat dan menganggapnya sebagai saudara kandung, demikian juga perlakuan yang diberikan kepada perempuan Pariaman yang bergelar Puti. Bila Sutan atau Marah bertemu perempuan Pariaman yang bergelar Siti atau Puti mereka akan menghormatinya dan tidak berani bersikap lancang. Penghormatan ini diberikan karena keduanya merupakan turunan dari Sidi Nan Sabatang yang merupakan zuryat (keturunan) Rasulullah Muhammad SAW.
Menurut Hamka turunan Rasulullah yang ada di Pariaman bergelar Sidi (Dari Perbendaharaan lama dan Panji Masyarakat) mereka bisa dikenali dari ciri-ciri fisiknya, berwajah arab atau berwajah oriental. Dari cerita rakyat (khaba) Pariaman, Sidi Nan Sabatang beristri seorang perempuan China.
SIDI BANGSA YANG DIRAJAKAN
Dalam adat istiadat masyarakat Pariaman Gala Pusako dari Ayah berbeda dengan orang Minang yang berasal dari dataran tinggi (pedalaman) Gala merupakan pusako dari Mamak ke kemenakan (dari paman ke kemenakan). Sewaktu orang-orang dari dataran tinggi menjadikan daerah Pariaman sebagai daerah Rantau (jajahan), Gala Pusako dari ayah tidak bisa digantikan dengan sistem adat yang dibawa dari dataran tinggi tersebut.
Rombongan yang datang dan mendarat di Bandar tiku (berbatasan dengan Luhak Nantigo) serta mendirikan perkampungan dan menamakannya kampung Ghasan (untuk mengenang asal mereka Bani Ghasan). Sidi nan sabatang beserta keluarga dirajakan (dirajokan/dihormati layaknya raja) oleh Bani Ghasan. Penduduk pribumi baik yang ada di Pariaman maupun yang datang dari dataran tinggi pada akhirnya juga merajakan mereka. Keturunan Sidi nan sabatang baik yang bergelar Sidi maupun Bagindo dipanggil dengan panggilan Ajo (Rajo). Sutan yang merupakan kaum pengusaha dan pedagang juga dirajokan atau dipanggil Ajo.
Panggilan Ajo merupakan panggilan dari seorang adik kepada abangnya, bisa juga panggilan untuk orang yang usianya lebih tua. Orang yang boleh dipanggil Ajo adalah seseorang yang bergelar Sidi, Bagindo dan Sutan. Panggilan Uda merupakan panggilan seorang adik kepada abangnya atau panggilan kepada seseorang yang usianya lebih tua.
Menurut adat di Pariaman seseorang yang bergelar Marah yang boleh dipanggil Uda. Kemudian Orang-orang yang datang dari dataran tinggi Minang juga dipanggil Uda oleh orang Pariaman karena mereka adalah penduduk asli Tanah Minang atau melayu Minangkabau atau kaum pribumi ranah Minang. Sama dengan penduduk yang lebih dulu ada di Pariaman ketika rombongan Sidi Nan Sabatang mendarat di Bandar Tiku juga dianggap sebagai bangsa pribumi.
Beginilah cara para Bani Hasyim yang sampai di Pariaman dalam menyikapi perbedaan antara Bani Hasyim dan penduduk asli melayu Minangkabau. Bangsa Melayu yang tinggal di dataran tinggi (pedalaman) bisa hidup secara damai dan harmonis walaupun berbeda dalam adat dan istiadat.
Orang-orang yang bergelar Sidi dan Bagindo di Pariaman lebih bersifat egaliter, Gelar tersebut tidak menjadikan mereka orang yang sombong dengan keturunannya. Mereka berbaur dengan masyarakat pribumi, juga terjadinya asimilasi melalui perkawinan, walaupun masih ada juga yang mempertahankan pernikahan sekufu (Siti untuk Sidi).
Datuk Parpatiah Nan Sabatang sebagai peletak dasar pemerintahan desentralisasi Bodi Chaniago dalam mamangan disebut “duduak sahamparan, tagak sapamatan.” Hal ini menyiratkan bahwa kedudukan raja dan rakyat adalah sama didalam hukum (Demokrasi). Sistem ini memandang semua orang sama dan sederajat secara hukum, inilah yang menjadikan masyarakat Pariaman menjadi egaliter. Sangat berbeda dengan sistem sentralistik pemerintahan Koto Piliang yang dibangun oleh Datuk Katumangguangan, yang didalam mamangan disebutkan “Rajo ditantang, mato buto.” Hal ini bermakna bahwa raja punya kekuasaan yang Absolut, sehingga rakyat harus menjalankan apapun titah raja (Feodal).
Pada perkembangannya terjadi perpaduan kedua sistem tersebut yang didalam mamangan disebut “Rajo alim rajo disambah, rajo zalim rajo dibantah”. Sampai saat ini sistem inilah yang digunakan oleh masyarakat Minangkabau, yang bermakna ketika seorang penguasa memimpin dengan adil maka rakyat akan menghormati, ketika seorang penguasa berlaku zalim terhadap rakyat maka penguasa tersebut wajib untuk tidak didukung bahkan digulingkan dari kekuasaannya.
SEBAB MUSABAB HILANGNYA GELAR SIDI
Ada perbedaan yang fundamental antara zuryat Rasulullah di Pariaman dan dan zuryat Rasulullah didaerah lain di Nusantara dalam hal menjaga gelar keturunan. Gelar Sidi dalam adat yang berlaku di Pariaman bisa saja hilang diakibatkan beberapa hal, diantaranya adalah gelar Sidi disandang dan dilekatkan ketika seorang dari turunan Sidi sudah menikah, maka keluarga pihak perempuan memanggil menantunya, atau iparnya tersebut dengan gelar yang disandangnya. Bila dia tidak menikah sampai akhir hanyat maka dia tidak pernah dipanggil dengan gelar yang disandangnya.
Sebab lain adalah ketika keturunan Sidi menikah dengan orang yang tidak sebangsa (Pariaman), misalnya menikah dengan perempuan Jawa atau perempuan dari suku lain yang ada di Nusantara. Maka tentu saja pihak keluarga perempuan, apakah itu ipar atau mertua tidak ada yang memanggil Sidi. Menikah dengan penduduk asli Minang yang berasal dari Luhak Nan Tigo (Agam, Tanah datar, Limo Puluh Koto), oleh mereka siapapun menantu mereka, apapun bangsa menantu mereka, apakah bergelar Sidi, Bagindo, Sutan atau Marah, apakah berasal dari Pariaman atau daerah lain tetap saja dipanggil Sutan.
Adapun sebab lain adalah malu menyandang gelar Sidi, seorang yang bergelar Sidi biasanya malu dipanggil Sidi bila sikap dan moralnya tidak baik. Hal yang sangat mendasar menjadi penyebab hilangnya gelar Sidi tersebut adalah gelar tersebut tidak disandangkan kepada nama anak keturunan sejak lahir. Sangat berbeda dengan turunan Alawy yang datang pada awal abad VIII sampai dipenghujung abad XVI, mereka menyandangkan gelar tersebut didepan nama anaknya sejak mereka lahir.

Tulisan ini bukan untuk membanggakan keturunan tertentu atau merendahkan keturunan yang lain, hal ini semata-mata untuk mengingatkan penulis sendiri. Ketika kita menghadap Allah yang ditanyakan adalah amal dan ibadah yang kita lakukan semasa hidup bukan dari keturunan siapa kita berasal.

Wednesday, December 30, 2015

A Cyclone

Langit malam yang tenang dan dipenuhi bintang adalah tempat terindah yang tak pernah ingin ku tinggalkan. Aku terus bersama langit malam itu. Memandangi bulan dan bintang. Sesekali memperhatikan guratan awan putih di langit yang biru. Begitu mempesona dan aku tak ingin malam ini berakhir.



Begitu mengecewakan seolah aku tak ada artinya menghabiskan malam menatap langit itu, pagi datang dengan tergesa-gesa. Memudarkan semua keindahan yang telah tercipta. aku mengutuk dalam hati. Aku bersumpah, tidak akan menerima pagi. Tapi, hatiku tersentuh karena pagi begitu suci. begitu dingin. Seolah-olah dia tahu, aku  sedang merasakan kebekuan karena langit malam telah pergi.



Aku membuka pikiran. Menyelami sedikit kedasar hati, Mencari-cari apakah aku benar-benar  tidak mengagumi pagi? Di sana ada embun segar, ada kicau burung, terlihat mentari pagi, terdengar gemericik sungai. Ada pepohonan yang rimbun,dan masih basah oleh embun. Sebegitu bekukah hati ku membenci pagi?? Ternyata tidak. Pagi, membuatku semangat menjalani kehidupan dengan semua anugrah yang tuhan berikan saat itu. Aku berdecak kagum. Ah, ternyata pagi juga tidak ingin lama-lama bermain denganku. Katanya, sekarang sudah bukan tugasnya. Ada yang lebih pantas, katanya.



Aku terdiam, menunggu kedatangan yang dipercaya oleh pagi. Aku menyipitkan mata. Silau, panas, dan gersang. Aku mengernyitkan dahi. Apakah ini yg pagi kaatakan lebih pantas?? Aku tidak mau merutuk lagi. Aku hanya mencoba melewati panas yang dipancarkan mentari. Ternyata ia bernama siang. Oh sungguh sulit bagiku yang terbiasa dengan dingin dan beku. Tapi, perlahan-lahan, sinar mentari itu menghangatkan aku yang dingin dan beku Tidak sekaligus, tetapi perlahan-lahan. Katanya, kalau perlahan-lahan, bumi yang rusak pun tak akan tersa lagi. Aku benci, aku berharap siang itu pergi. Tapi aku menyaksikan kebaikan siang. Di sana ada burung camar, di atas langit, ada tikus tanah mencari makanan,, kulihat bapak-bapak yang berjualan es tebu sambil melayani banyak pembeli. Ada guru yang mengajari murid-muridnya. Ada anak kecil bermain di lapangan kecil di belakang rumah. Aku terharu.. melihat siang, dan tak ingin kebahagiaan manusia menjadi hilang. Buru-buru dia pergi. Katanya, dia mau mandi. Ia sudah membahagiakan jutaan makhluk dibumi, begitu banyak peluh yang diciptakan siang. Aku menahannya. Katanya, jangan. Kalau aku tetap di sini, akan menjadi bencana bagi makhluk di dunia.



Aku diam. lagi-lagi menyaksikan siang perlahan tergelincir. Perlahan semilir angin sore membelaiku. Lembut. Inikah yang akan datang menggantikan siang?? Sore, kau kah itu??dia menjawab. Ya. Tapi aku cuma numpang lewat karena aku sebentar lagi akan menjadi malam. (Aku protes) Tapi kenapa pagi,siang,engkau(sore), bahkan malam tidak pernah bertahan lama di sini?? Adakah aku telah membuatmu marah atau bosan?? (sore tersenyum) : Aku tidak akan menjawabnya. Karena kau lebih tau jawabannya. Aku pergi dulu, dia  akan datang. Malam merajai dunia kembali. Aku bahagia, karena sebenarnya yang kutunggu adalah engkau, malam. Juga pagi, siang, dan sore.

Gelap semakin menjalari dunia ini. Perlahan-lahan, lampu menghiasi malam. Bintang-bintang bermunculan. Awan-awan  dilukis oleh sang pencipta. Bebunyian memenuhi semesta alam. Semua istirahat melepas penat seharian. Karena esok masih ada mentari.



“Tulisan ini saya posting di social media facebook saya tanggal 22 September 2009. Bahkan, saya lupa bahwa saya pernah sepuitis itu” 

Nb : Some moments captured and post on my IG : suryaniannisa

Kamu Harus menjadi 16 Tipe ini di Tahun 2016

Tahun baru adalah harapan baru. Artinya, kemungkinan, pengalaman dan cara pandang baru dalam melihat dunia. Tetapi, bukan berarti semua berubah dalam detik jam baru. Sehubungan dengan semua harapan dan resolusi baru, berarti harus dirumuskan dengan cara baru.
So, dalam memenuhi berbagai macam target yang tidak tercapai di tahun kemaren, sebaiknya saya menyarankan untuk menjadi 16 individu dalam satu tubuh. IMPOSSIBLE!!! Tapi bisa.  

The Doer (Pelaku)
How to be The Doer? Penuh semangat dan cepat. Ketika bekerja keras, maka tak ada yang lebih keras dari tekadmu. Ketika bermain, maka tak ada kamu bermain dengan serius. The Doer  selalu dipenuhi semangat.


Friend (Teman)
Apakah Anda pernah menyadari sekian banyak hal-hal negatif yang kita katakan diri kita sendiri? Pikiran adalah musuh terburuk kita sendiri. Terus menyabotase kesempatan kita sendiri di kehidupan yang bahagia. Pikirkan tentang seseorang yang selalu ada untuk Anda, yang telah mengalami sebagian besar saat-saat penting dalam hidup Anda dengan sisi Anda. Mungkin sahabat atau orang penting lainnya, mungkin itu adalah saudara atau saudari. Apakah Anda memberitahu mereka bahkan setengah dari hal-hal yang Anda katakan kepada diri sendiri? Ini saatnya untuk mulai menjadi sedikit lebih baik untuk diri kita sendiri. Membuka diri terhadap diri sendiri dan orang-orang di sekitar kita.

Listener (Pendengar)
Jadilah orang yang ada saat seseorang membutuhkan. Mengulurkan tangan kepada orang lain dan membuat diri anda ada bagi mereka yang membutuhkannya. Perlu menjadikan orang yang kita sayangi sebagai prioritas. Di mana kita selalu berada di sana untuk mereka yang selalu ada untuk Anda.


Thinker (Pemikir)
Jadikan tahun 2016 merupakan tahun  di mana Anda menemukan keseimbangan - keseimbangan antara menjadi orang yang mengerti dan eikirkan suatu masalah sampai selesai. Ambil napas dalam-dalam dan ketika belum menemukan jawaban atas setiap permasalahan, biarkan. Hidup tidak akan pernah sempurna, tetapi jika kita memikirkan bahwa terlalu lama, kita akan kehilangan dunia di mana kita hidup.


The Traveler (Sang petualang)
Perlu melakukan perjalanan di mana kita belum pernah menjejakinya. Kegunaannya? Hmm, menjadi sang petualang adalah keluar dari batas nyaman yang selama ini kamu set dalam alam bawah sadarmu. Ketika telah berpetualangan, pikiranmu lebih flexible dan bahagia.


Optimis dan Positif Thinking
Yap, ini adalah menemukan cara untuk melihat keindahan di dunia. Kita hidup dalam masyarakat yang gila dengan banyak kebencian dan kekerasan. Tapi sebenarnya itu adalah mindset bahwa kita tinggal di tempat yang buruk. Kamu bisa membuat tepat itu lebih indah dan bisa menjadi tempat yang fenomenal penuh dengan hal-hal yang membawa kesenangan. Pergi berkemah, menjadi relawan di suatu tempat, pergi ke kota favorit Anda, atau menari dalam hujan. Apa pun yang membuat Anda merasa lebih menghargai kelebihan-kelebihan  yang sering disepelekan, maka mulailah perhatikan. Temukan, lakukan dan jangan lewatkan.



Screw-Up
Kita belajar dari kesalahan. Mengacaukan pekerjaan, emperburuk hubungan dengan orang-orang. Hal tersebut adalah sesuatu yang Anda tidak akan pernah bisa dihindari, dan itu adalah salah satu cara untuk menaklukkan hidup. Jadi biarkan diri untuk mengacaukan dan memporak-porandakannya. Setelah mengacaukan, anda akan selalu bisa bangkit kembali.



The Visionary
Hanya karena Anda menjadi "dewasa," bukan berarti Anda berhenti mengejar  tujuan. Usia hanyalah angka, terutama ketika datang untuk memenuhi impian Anda. Anda tidak perlu persetujuan siapa pun selain diri sendiri. Pergi mengejar apa yang sudah dirumuskan dan direncanakan.



Manusia
Pikirkan tentang orang lain. Menempatkan diri pada posisi orang lain. Mengulurkan bantuan. Tidak sulit untuk menjadi orang baik. Ada kebaikan di dalam masing-masing orang. Hanya saja pilihan yang membuat berbeda.



Taker (Pengambil Resiko)
Untuk menemukan hal-hal terbesar dalam hidup, kita harus melakukan hal-hal yang menakutkan dan hal yang dikhawatirkan. Tinggal dalam zona nyaman kita akan menghambat kemampuan untuk tumbuh dan belajar.  Jadi, tidak perlu takut untuk meninggalkan zona nyaman.

Penyendiri
Being a loner. Menjadi orang yang pergi berjalan-jalan sendiri untuk membersihkan kepala Anda. Sesekali perlu berjalan sendirian untuk mmenjalani jalan yang biasa dilewati dengan teman-teman. Ini akan membantu menyegarkan pikiran yang ruwet.



The Trainwreck
Ini adalah lebih memberikan kesempatan bagi diri anda untuk mengakui yang sebenarnya terjadi. Tidak harus berpura-pura kuat. Berhenti menjadi begitu malu untuk merasakan letih dan untuk istirahat. Meminta bantuan ketika Anda membutuhkannya. Katakan tidak untuk hal-hal dan orang-orang yang menyakiti Anda. Pecahkanlah dinding yang Anda buat dari rasa sakit Anda. Dari yang membuat anda Rentan. Biarkan diri Anda untuk percaya lagi.




A Leader (Pemimpin)
Apakah perlu saya deskripsikan seorang pemimpin itu seperti apa? Rasanya tidak. Karena kita adalah pemipin diri sendiri.



Wanderer
2016 adalah tahun untuk menyambut ide-ide baru, pengalaman baru, dan keyakinan baru. Begitu banyak orang percaya bahwa bepergian berarti melompat di pesawat ke Eropa, atau mengunjungi setiap negara di dunia. Tapi tidak harus mengunjungi belahan duni lain. Cukup kunjungi daerah dalam kota Anda. Berkendara ke negara sebelah Anda. Sejenak keluar dari rutinitas harian Anda dan benar-benar melihat apa yang ada di luar sana. Ini akan membuat Anda kaya dengan cara dimana uang tidak dapat memmbeli kekayaan itu. 



Artis
Apa gairah tersembunyi Anda? Apakah Anda suka menulis? Nyanyian? Lukisan? Bagaimana Anda mengekspresikan diri? Apapun pemicu  bekerja untuk Anda, lakukanlah dan terima. Melakukan lebih dari itu. Bangga akan hal itu. Anda tidak perlu menjadi seorang aktor profesional atau penari untuk menjadi seorang seniman. Anda bisa membuat seni Anda sendiri. Kesukaan Anda adalah apa yang membuat Anda hidup. Jangan mengabaikan mereka.



Fighter (Petarung)
Tahun baru membawa banyak peluang baru dan kenangan indah. Tetapi juga dilengkapi dengan pengalaman yang tidak menyenangkan seperti putus menyakitkan, diduakan, di php in oleh orang yang kamu sayangi, pengalaman buruk dengan bos, dan rasa takut yang tidak pernah berakhir dan kegagalan lainnya. Tidak peduli apa hambatan datang, ingatlah bahwa Anda punya melalui segala sesuatu pada tahun 2015  dan tahun sebelum itu. Anda akan mengatasi tantangan tahun ini sama dengan baik. Ingat kekuatan Anda. Ingat kemampuan Anda untuk terus bahkan ketika hidup tidak mau berdamai dengan anda. Ingat ambisi Anda untuk selalu mencari lebih baik. Anda mungkin tidak bertanggung jawab atas nasib Anda, tetapi Anda bertanggung jawab atas perjalanan Anda saat Anda sampai di sana. Terus mengejar. Teruskan. Terus berjuang.




Dunia mungkin telah mengajarkan kita bahwa mindset yang membuat kita seperti sekarang. Bahwa kita bisa ekstrovert atau introvert. Pemikir atau peraba. Pemimpi atau pelaku. Jadilah siapa yang anda inginkan, sedikit demi sedikit atau sekaligus. Jelajahi. Menemukan. Menjalani hidup Anda.

Tuesday, November 25, 2014

“Lets Escape The Ordinary” di Gunung Padang

 Lama tidak mengupdate isi blog ini, membuat saya “kangen” dunia tulis menulis. Ya, dunia yang kata orang akan muncul gegara hobi membaca atau hobi “galau”, mungkin. Mengapa? Mungkin sedikit bahasan ini (akan saya bahas di paragraph pertama ajah deh). Kebanyakan akan muncul karena galau, dari  pengalaman pribadi. Kalau orang yang pernah ngerasain galau pasti tau lah ya. Betapa banyak kata-kata dari hati yang terdalam untuk disampaikan. Sebenarnya kata-kata yang dari hati itu adalah kejujuran dan keindahan. Bahkan, jika dituliskan akan memiliki nilai tersendiri, terlepas dari apakah yang menulis memiliki skill atau tidak. Selanjutnya adalah karena memang hobi bercerita dengan menulis. Maksud saya bercerita dengan menulis adalah mereka yang tidak bisa menceritakan melalui lisan. Jika mereka bercerita melalui lisan, kebanyakan mereka mengatakan They didn’t get ma point. Yap, kira-kira itu adalah sedikit alasan yang bisa disampaikan. Jika ada tambahan, bisa ngasi ide ke saya. 

Okeh, ga perlu lama-lama, saya ingin mengobati kangen dengan dunia tulis menulis ini. Kali ini saya ingin berbagi sedikit kisah saya dengan beberapa teman-teman saya yang rindu akan liburan (derita para pekerja di Ibu Kota). Memang beberapa bulan terakir saya sempat searching di om google, destinasi untuk liburan dibulan oktober 2014. Saya ingin liburan yang dekat, tapi bisa memenuhi rasa kangen terhadap kampung halaman saya. Saking kangen dengan kampung halaman saya (padang), saya jadi sering sakit-sakitan. Hiks…. Hiks… Hiksss.. Tetiba muncul pesan di salah satu grup angkatan saya. Kenapa saya katakan salah satu? Yap, karena grup angkatan kami sangat banyak, padahal isinya juga teman-temn se angkatan. Mungkin karena ke”labilan” kami. Inti pesannya adalah bahwa akan ada beberapa dari kami mengunjungi Gunung Padang yang letaknya di Cianjur, dan mengajak teman-teman seangkatan, kalau ada yang mau gabung. Singkat Cerita, kami berangkat ber 6 dengan anggota Cilam (Ketua Grup yang menghandle perjalanan), ipung, curu, cekoik, ati, dan saya.
Pada hari H keberangkatan, saya udah siap siap dari setengah 5 pagi, mengingat lama perjalanan  dari matraman-bogor itu memakan waktu 1,5 jam. Tapi yang namanya badan klo pagi-pagi, pengen guling-guling dulu dikasur. Ternyata, kebablasan sampe 5.15 WIB. Dan untung, semua udah dipersiapkan dari semalam. Jadi, saya mandi dan cus cus ke stasiun manggarai. Sampai di  stasiun manggarai, ternyata kereta ke arah bogor masih 10 menit lagi sampai di Manggarai. Yah, setidaknya bisa nyari sarapan di sevel (7 Eleven) dulu. Selesai saya membayar sarapan di sevel, kereta datang. Dari estimasi saya, kami bisa sampai di stasiun bogor untuk naik kereta ke Lampegan sebelum jam 8. Ternyata, perkiraan saya meleset. Saya dan rekan saya, Astri, telat sampai stasiun Bogor. Huaaaaa. Ditinggal kereta ke Lampegan.
Awalnya, saya merasa ditinggal kereta adalah akhir dari weekend indah yang saya bayangkan. Campur aduk perasaan saya kala itu. Ada rasa merasa bersalah telah menghancurkan liburan yang udah lama direncanakan. Ada juga rasa takut dengan mereka yang udah menunggu sedari tadi. Takut kalau-kalau mereka membenci saya. Tapi, ternyata itu hayalan saja. Walaupun mereka “menggoda” saya dengan selorohan-selorohan yang membuat kami tidak jadi berangkat pagi ke Lampegan. Yang terpenting adalah kami berusahan menikmati setiap momennya. Jangan ada yang mengganggu mood. Tapi, akhirnya kami memesan tiket keberangkatan jam 13.25 WIB. Dan sekarang, kami memikirkan cara membunuh waktu sampai jam 13.00 WIB
Setelah fix ditnggal kereta, kami focus mencari sarapan dulu. Yah, setidaknya mengisi perut yang kosong gegara bangun subuh-subuh demi mengejar kereta, dan akhirnya ditinggal pergi kereta. Hehehe, akhirnya kami berlabuh di KFC. Kenapa? Karena di sini tidak dibatasi sampai jam berapa, asal kami tetap pesan. Agar waktu nongkrong kami bisa lama di KFC, kami memesan menu gantian. Yah, seperti biasalah, pengen nongkrong lama tapi gak mau duit cepat habis.  Sambil menghabiskan waktu setelah bosan dengan KFC, kami jalan-jalan seputaran kota Bogor. Yah, namanya jalan-jalan, pasti jalan kaki. Kami meliat-liat kondisi pasar. Sekalian nyari tongsis. Ups, cerita punya cerita, ternyata teman saya yg namanya Curu lagi nyari holder tongsis. Tapi, ternyata doi malu nyari sendiri dikarenakan ga mungkin cowok nyari-nyari tongsis. Akhirnya, saya mau ngaku-ngaku nyari tongsis demi teman yang satu ini. Tapi, sampai kami berangkat, ga nemu jualan tongsis di sekitar taman topi. Ya sudah lah, kami headout ke stasiun.
Sampai di stasiun, kami siap-siap departure #ceritanyapura2elit. Persiapan tiket dan KTP untuk verifikasi.  Sontak saya teringat dompet yang tertinggal di meja kamar kos berisi KTP yang akan saya kasi liat ke bapak-bapak tukang verifikasi tiket. OH MY GOD ! Gue lagi??? Ya Tuhaaan ! Kenapa saya selalu sial hari ini ya Allah. I’ve ruined it. Itu batin saya. Kali ini saya berbesar hati kalau seandainya ga bisa naik Kereta gegara ga bawa KTP asli. Tapi, cilam dan curu mau nyobain last chance. Dengan jujur kami mengatakan permasalahan KTP ini. Beruntung si Bapak menoleransi ini karena lima orang teman saya yang lain membawa KTP. Alhamdulillah, Thanks God ! Akhirnya perjalanan panjang 3 jam di atas kereta ekonomi bogor-lampegan, akan kami jalani.
Teeeeet !! Peluit kereta berbunyi. Bak katak menanti hujan dan hujanpun turun, kami sumringah membayangkan perjalan yang luar biasa ini. 15 menit berlalu, ternyata bayangan tidak sesuai dengan kenyataan. Bayangan kalau kami akan baik-baik saja  di atas kereta ekonomi bogor-lampegan selama 3 jam ternyata berkebalikan. Walaupun menggunakan AC di atas kereta, udara di dalam kereta tetap panas, bahkan bagi rekan kami yang  duduk dekat dengan jendela. Belum lagi, kecepatan kereta tidak seperti Commuter Line yang biasa digunakan di hari kerja.  Perlahan canda tawa kami mulai hilang, diganti dengan hawa kepanasan dan keringat yang membasahi baju. Sambil ngabisin waktu, mereka (Eko, ipung, curu, astri dan cilam) main game Lets Get Rich. Saya sih lebih milih tidur. Walaupun panas, tetap ngorok. Hehe, udah biasa hidup di daerah panas, jadi ya ga masalah walaupun cuaca panas. Tetap lanjuuut.
Dua jam telah lewat. Perlahan matahari gak se "sangar" tadi. Jadi, di dalam kereta nggak sepanas yang tadi. Penumpang udah banyak yang turun, jadi kami udah nggak rebutan AC kereta lagi. pemandangan bagus pun mulai disuguhkan kepada kami. Ya, jadinya kami bengong melihat pemandangan selama 1 jam menjelang sampai di stasiun lampegan. Kira-kira setengah 5, kami sampai di stasiun Sukabumi. Di stasiun ini, kereta lebih lama berhenti. Kalo saya itung-itung sih sekitar 15 menit.
Nah, waktu 15 menit ini kami manfaatkan untuk momen foto-foto di atas kereta. Mengeluarkan tripod, mencari titik shoot, menyetting timer dan berapa kali jepretan untuk mode otomatis, dan. Ceklek ceklek ceklek. dengan pose masing-masing, kami bergaya. Awalnya saya punya niat untuk ngajakin teman-teman berfoto diluar kereta. Karena menurut saya view di luar itu seperti pemandangan jadul, dengan bangunan stasiun yang tinggi seperti tempat tinggal vampir. Tapi, saya urungkan, takut-takut kalau ketinggalan kereta lagi, dan kalau terjadi, akan benar-benar hancur rencana liburan kali ini.
Counting Down 1 jam sebelum sampai ke lampegan, kami senangnya bukan main. Cuaca sore perkampungan yang kami rindukan, seakan kami temukan dalam perjalan ini. Gunung, sawah, langit dan semak-semak yang sering kami temui di kampung, juga kami temukan di sini. Ternyata nggak kami sadari, bapak-bapak yang mengecek tiket kereta menghampiri kami. Menyakan tujuan kami. Ternyata apresiasi mereka mendengarkan kami ke Lampegan langsung ditebak oleh mereka kalo kami ingin mengunjungi situs Gunung Padang. "Hehe, Iye paak", jawab kami serentak. "Wah, semangat sekali kalian ya. Tapi itu tanjakannya tinggi lho. Ini yang kecil saya yakin ga bakal sanggup", lanjut si Bapak sambil menunjuk saya. Teman-teman tertawa gegara ucapan si Bapak. Selalu saya yang kena. Tapi, whatever lah, asal semua senang.
Jam menunjukkan 17.15 WIB. Itu artinya kami akan segera sampai di stasiun Lampegan. Menurut sumber yang dibaca,  kami akan melewati terowongan sebelum sampai ke stasiun Lampegan. Dan, benar. Kami memasuki terowongan tua yang katany dibangun sejak jaman penjajahan belanda. Ketika melintasi terowongan, selorohan kami nggak jauh dari Harry Potter. Titik putih nampak dari kejauhan, dan itu adalah ujung dari terowongan. Dengan kata lain, kita uda sampai di Lampegan guys!!
Benar Sekali ! Ketika kereta berhenti, saya melihat papan stasiun tertulis "Stasiun lampegan". Yap ! Dan ketika kami mendarat, disambut beberapa abang-abang  tukang ojek yang ramah. Berbeda dengan abang-abang ojek yang sering saya jumpai. Dengan sopan teman saya menolak dan mengatakan bahwa kita udah punya guide. Tiba-tiba penduduk lokal menggunakan topi kain (untuk sementara saya menyebutnya sebagai topi kain dulu, karena nggak tau istilah dalam bahasa sunda), menanyakan mana yang namanya Ilham. Ternyata penduduk lokal itu namanya adalah Kang Cecep, guide yang dimaksud Cilam (Ilham).
Okeh, kami dipandu oleh kang Cecep menuju lokasi Gunung Padang, dimana kami juga akan menginap ditempat yang udah disiapkan Kang Cecep, yaitu saung 2 kamar dan satu ruang tengah. Menuju lokasi, kami disuguhi pemandangan yang membuat kami takjub. Pegunungan, perbukitan, serta kebun teh dan jalan yang berkelok-kelok. Feels Like Home. Itu yang diucapkan teman saya yang berasal dari Bukittinggi, Sumatera Barat.
Sampai dilokasi, terdapat beberapa "kedai" kecil, dengan berbagai menu. Saya rasa ini cukup memanjakan pengungjung. Lengkap, walaupun ga ada Indomaret atau Alfamart, dan harganya termasuk murah untuk kategori tempat wisata bersejarah yang ramai dikunjungi. Biasanya setahu saya, objek wisata yang ramai dikunjunggi, penjual akan mematok harga yang tinggi. Kami mengelilingi lokasi. Penduduknya ramah.
Setelah berkeliling, kami balik ke saung, sekita beberapa menit sebelum adzan maghrib berkumandang. Walaupun cuaca diperbukitan ini tergolong dingin, tapi beberapa teman, termasuk saya tetap mandi. Brrr, kebayangkan dinginnya air pegunungan. We must endure it. hahahaha. Sehabis mandi dengan air yang dingin, pasti kelaparan dan ingin yang hot-hot. Yap ! Kami memesan Mie rebus dari ibu-ibu yang ada disebelah saung kami. Sebenarnya mereka menawari kami makan malam, tapi yah yang namanya perut ngiler dengan mie rebus kalo dingin, mau diapakan lagi. Cuma sebentar, mie rebus habis.
Kami melewati malam dengan membuat api unggun dan mendengarkan cerita-cerita Kang Cecep tentang sejarah Gunung Padang ini ditemukan, kemudian kaitannya dengan Atlantis serta Lemuria. Juga tentang penelitian "Santos" yang mengungkapkan Indonesia itu bagian dari Atlantis. Saya juga meyakini hal tersebut, karena saya pernah membaca ha; tersbut di jurnal ilmiah peneliti luar negeri. Tapi masih tidak terlalu yakin. Setelah itu, kami melanjutkan cerita ngalor ngidul. Menunggu mata lelah dan cuaca bertambah dingin. Yap, ketika mata udah lelah dan cuaca bertambah dingin, kami masuk ke kamar di saung. Terpisah antara cewek dan cowok. Menunggu perjalanan luar biasa esok hari.

Okeh, part 1 sekian dulu ya sahabat-sahabat sekalian.  Mungkin ini sedikit dokumentasi dari cerita di atas. 


Hmmm.... Ga tau kenapa, teman saya yang satu ini niat banget foto sama pocong.


Jepretan yang komposisi warnanya bagus.


Dua Foto ini kami ambil ketika masih jaim-jaim, membunuh waktu samapi jam 13.00 WIB


Ini adalah foto ketika kami berkeliling lokasi sekitar


Batu yang dibelakang rekan saya adalah patahan batu yang jatuh ke bawah



Ini adalah pose di atas kereta ketika kami sampai di stasiun Sukabum dengan menggunakan Tripod


Mengisi cakra dulu guys. Hahahaha


Landing di Lampegan, Awal pengalaman.



tetap, dengan berbagai macam pose



Ketika kami bangun, setengan 5 subuh, cuaca dingin menusuk kulit. Yah, istilahnya gini, udah di pegunungan, pagi-pagi dan subuh mesti ngambil air wudhu. Demi apaaa coba. Yahp! Demi menjadi muslimin dan muslimah yang baik, kami bangkit dan berwudhu untuk sholat. Sebelum melanjutkaan perjalanan “mini” pendakian ke Gunung Padang untuk berburu sunrise.   
Selesai semua persiapan (sebenarnya nggak terlalu butuh persiapan sih) mendaki (pura-puranya mendaki), kami cus dari saung menuju gerbang masuk Situs Gunung Padang. Berhubung masih pagi buta, jadi belum ada petugas yang menjaga pintu masuk Situs Gunung Padang ini. Anehnya, pintu itu memang selalu terbuka dan tidak pernah tertutup. Lalu, kemungkinan orang-orang untuk masuk gratis dan gak bayar bisa dong ya. Yap! Bisa banget. Nah, tapi kerennya, masyarakat sini jika menjadi tour guide dari situs ini selalu mengatakan kepada kami (guest) untuk membayar uang masuknya nanti setelah turun. Lebih asiknya lagi, ga ada pengunjung yang mau nipu. Syukurlah. O iya, ngemeng masalah tour guide, mereka memang menjadi guide perjalanan sambil menerangkan sejarah yang terkadang menurut orang yg bukan penyuka sejarah, omongan salah satu tour guide ini adalah diatas rata-rata untuk kategori tinggal di daerah pedesaan. Ternyata mereka juga membaca referensi dari luar negeri dan melihat-lihat peneliti yang dulunya datang ke Situs Gunung padang ini.
15 menit melakukan pendakian yang sudah memiliki anak tangga membuat saya dan rekan saya lelah. Pasti yang baca bakal bilang gini : ”Halah, udah pakai tangga pake cape segala”. Tentu sajaaa. Jarak anak tangganya itu tinggi. Satu anak tangga itu tingginya sepaha saya (saya orangnya mungil lo, 150an cm). Tanpa pemanasan terlebih dahulu, capek akan lebih cepat menyerang.
Yah, ahirnya dengan sisa-sisa nafas, kami sampai di atas situs gunung padang. Lebay. Tapi begitulah, exited melihat pemandangan dari atas.
Ini foto saat sunrise di Situs Gunung Padang



Kira-kira pukul 7.00 WIB, selepas puas berfoto-foto dengan pemadangan dari atas  gunung ini dan berhubung khalayak ramai sudah berdatangan, kami memutuskan untuk turun kembali, lewat jalan yang berbeda. Ketika sudah sampai di bawah, kami kelaparan tingkat dewa. Ada kedai yang menjual gorengan, kami serbu. Selain itu kami juga nyari sarapan pagi, tapi berupa nasi. Nah loo, jarang-jarang kalau kami saran paginya adalah nasi. Itu karena efek kelaparan. Setelah menemukan tempat sarapan, kami memesan makanan dan ngalor ngidul di pagi hari. Menceritakan rencana-rencana yang akan dilalui untuk sampai kembali ke bogor alis balik. Nah. ini beberapa foto yang kami ambil. 

Ketika belum rame, kami bebas berfoto-foto di sini



 Untuk foto di bawah ini, kami menggunakan kamera NIKON




Sementara ini, dijepret menggunakan aplikasi self shutter dari Sony Xperia Z2




Setelah sarapan, kami kembali ke saung dan bergolek-golek. Istilah mereka sih, ngaso. Tepatnya istirahat. Hahahha, ribet banget ye. Sementara saya, nungguin antrian mandi, karena habis mendaki dan makan, ituu rasanya HOT banget. Pengen main air. Ternyata mereka juga ikut ngantri untuk mandi. Kami pun gentian. Akhirnyaaa, kami semua selesai mandi dan packing. Berhubung hari masih panas, kami berniat menunggu Dzuhur di sini setelah itu cus berangkat balik ke stasiun Lampegan dengan Ojek. Dasar bocah-bocah (ane manggil teman-teman ane bocah), keliatan spot foto aja, langsung minta turun Ojek, dan berhenti. Ceklek ceklek. Hahahhaa. Kali ini yang jadi korban ke narsisan kami adalah kebun teh. Tapi saya senang dengan “perangai” mereka yang seperti ini. Liburan memang untuk menghilangkan beban. Jadi tertawa lepaslah bro!



Setelah sampai di stasiun Lampegan, kami nyari makan siang dulu, mengingat perjalanan menuju bogor akan kami tempuh selama 3 jam ke depan. Tidak lupa pula, kami mengabadikan momen ini. Momen dimana kami bisa pergi bersama-sama. Puas berpanas-panas ria, kami kembali ke dalam stasiun, menunggu kereta api datang. Dan dari kejauhan terdengar panggilan kereta api. Tut tuuuut tuuut, jes jes jes. Kami segera siap-siap. Membangunkan bocah-bocah yang ketiduran karenan lelah. Dengan Exited sekaligus kecewa kami melangkah ke kereta, karena liburan ini harus berakhir. Kembali, di atas kereta selalu dihiasi kehebohan. Setengah jam berlalu, kami memilih tidur, dengan harapan sejam kemudian kami terbangun menemukan pemandangan indah di perbukitan. Sayonara Pose !






Okeh guys, sekian dulu catatan kecil saya. Dan jangan lupa masih ada cerita Papandayan yang akan saya update. Monggo di cek Instragram saya "suryaniannisa".







Social Icons