Awal mendengar istilah UKT (Uang Kuliah Tunggal) ini, dahi
saya berkerut. Bingung dengan maksud dari UKT ini. Jadi, UKT ini adalah system
pembayaran uang kuliah yang dilakukan sekali satu semester, tapi jumlahnya
sama, terhitung dari semester 1 mahasiswa masuk ke PTN atau PTS. JAdi, uang
masuk universitas yang awalnya mahal, sehingga menyulitkan mahasiswa di awal,
akan dipangkas dan dibagi ke semester aktif mahasiswa itu (anggap saja selama 8
semster). Nah, uang masuk itu dijumlahkan dengan uang semester selama 8
semester, lalu dibagi dengan 8. Kalau menurut hitungan saya, ini adalah sebuah
solusi bagus dalam dunia pendidikan tinggi. Karena uang masuk universitas akan
semakin lebih rendah, dan kesempatan masyarakat kurang mampu untuk mencicipi
pendidikan tinggi. Inilah pandangan awal saya mendengar solusi ini. Bangga
akhirnya pendidikan tidak dikomersialkan. Mimpi agar pendidikan tinggi tidak
hanya dinikmati orang orang yang notabene ber ‘uang’.
Melihat realita yang terjadi sekarang, anggapan saya yang
awalnya bangga ini, berubah jadi miris. Mengapa? Saya nggak akan kasih banyak
pendapat, Cuma saya akan memberikan contoh real dampak UKT ini dilingkungan
saya (sumber data : www.unand.ac.id).
1. UKT
per-mahasiswa per-semester untuk mahasiswa baru bervariasi, setiap Fakultas di
lingkungan Unand mulai dari yang terendah dan sampai yang tertinggi. UKT
terendah adalah Rp 500.000,- (Lima ratus ribu Rupiah) untuk setiap Fakultas.
UKT terendah ini akan diberikan kepada mahasiswa dengan latar belakang orang
tua buruh berpenghasilan tidak tetap atau PNS golongan I. UKT yang terendah
hanya diberikan kepada mahasiswa yang tidak tertampung dalam skema Bidikmisi
yang dialokasikan untuk Unand.
2. UKT tertinggi
untuk masing-masing Fakultas adalah Rp 3 juta untuk Fakultas Pertanian, Rp 4,5
juta untuk FIMPA, Rp 3 juta untuk Fakultas Peternakan (Kampus Unand dan Kampus
II Unand Payakumbuh), Rp 5,5 juta untuk
Fakultas Farmasi, Rp 4,3 juta untuk Fakultas Teknik, Rp 4 juta untuk Fakultas
Teknologi Pertanian, Rp 5 juta untuk Fakultas Kesehatan Masyarakat, Rp 4 juta
untuk Fakultas Keperawatan, Rp 5 juta untuk Fakultas Teknologi Informasi, dan
Rp 11 juta untuk Fakultas Kedokteran Gigi.
3. UKT tertinggi
untuk Fakultas Kedoteran dibagi tiga menurut program studi yang ada di fakultas
tersebut. Rp 11 juta untuk Program Studi Kedokteran, Rp 7 juta untuk Program
Studi Psikologi dan Rp 7,5 juta untuk Program Studi Kebidanan.
4. UKT tertinggi
untuk fakultas bidang ilmu sosial juga bervariasi yang ditetapkan per semester/
per-mahasiswa. Rp 2,7 juta untuk Fakultas Hukum, UKT yang sama dengan Fakultas
Hukum juga ditetapkan untuk Fakultas Ekonomi (Kampus Unand, Kampus II
Payakumbuh dan S1 Intake D3) dan Rp 1,8 juta untuk D3. Selanjutnya UKT
tertinggi untuk FISIP dan Fakultas Ilmu Budaya juga ditetapkan sebesar Rp 2,7
juta.
5. Diantara tarif
UKT terendah (level 1) dan tertinggi (level 5), terdapat kelonggaran UKT yang
disebut level 2, level 3, dan level 4. Level 2 akan diberikan kelonggaran untuk
mahasiswa dengan ciri orang tua PNS Golongan
II, karyawan swasta atau wiraswasta yang berpenghasilan setara dengan PNS
Golongan II. Level 3 diberikan kelonggran kepada mahasiswa dengan ciri PNS
Golongan III, karyawan swasta atau wiraswasta yang berpenghasilan setera PNS
Golongan III. Kemudian level IV diberikan kepada mahasiswa dengan latar
belakang orang PNS Golongan IV, karyawan swasta atau wirasusaha yang berpendapatan
setara dengan PNS Golongan IV.
Rektor menegaskan bahwa UKT Unand
telah ditetapkan lebih rendah dari pagu UKT wilayah I Sumatera yang ditetapkan
oleh Dirjen Dikti Kemdikbud RI sebelumnya. Kemudian untuk memberi kelonggaran
kepada mahasiswa juga sudah ada level-level UKT sesuai dengan karakteristik
latar belakang orang tua mahasiswa. Jadi menurut Rektor tidak ada prinsip memberatkan
mahasiswa yang terlanggar. Orang tua mahasiswa yang mampu tidak boleh sama
pembayaran UKT sama dengan orang tua yang kurang mampu. Kalau disamakan menurut
Rektor, itulah yang tidak adil. Kampus ini disubsidi oleh pemerintah, maka yang
berhak menerima subsidi tersebut lebih banyak adalah keluarga kurang mampu.
Dengan kebijaksanaan UKT ini cukup luas kesempatan dan peluang yang terbuka
bagi putra dan putri yang berasal dari keluarga miskin untuk semua program
studi dan fakultas.(Akhir kutipan dari website Unand).
Sebenarnya, menurut pengetahuan dan sumber yang saya baca,
UKT ini awalnya dari enam mahasiswa Universitas Andalas (Unand) yang tergabung
dalam Forum Peduli Pendidikan (FPP) mengajukan judicial review terhadap UU
Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (Dikti). Bergabung dengan Komite
Nasional Pendidikan (KNP), keenam mahasiswa ini pun mengkaji berbagai pasal
dalam UU Dikti yang dinilai mengandung rasa diskriminasi dan komersialisasi
dalam pendidikan. Ada beberapa pasal yang dianggap memiliki ketimpangan
terhadap tujuan negara yang tertuang dalam konstitusi untuk kemajuan
pendidikan. Antara lain adalah pasal 64 tentang otonomi kampus, asal 65 tentang
pembentukan perguruan tinggi negeri (PTB) badan hukum (BH) dengan ciri pokoknya
adalah pemisahan awal kekayaan negara dengan kekayaan perguruan tinggi.
Kemudian, pasal 73 tentang seleksi mahasiswa baru yang memungkinkan kampus
membuka banyak jalur untuk menerima sebanyak mungkin mahasiswa baru. Bermula
dari judicial review inilah mahasiswa berpikir bahwa adanya undang-undang dikti
semakin mengkomersilkan kampus dengan adanya sistem kelas regular, non-reguler,
jalur mandiri, kelas internasional dan lain-lain. banyak mahasiswa yang
membayar cukup mahal namun fasilitas yang didapat sama dengan yang lainnya.
Untuk itu pemerintah berinisiatif untuk menumpas kekhawatiran mahasiswa
tersebut melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor
97/E/KU/2013 dan 305/E/T/2012 tertanggal 5 Februari 2013. Surat edaran tersebut
menghimbau seluruh perguruan tinggi negeri untuk menghapus uang pangkal dan
melaksanakan Uang Kuliah Tunggal (UKT) bagi mahasiswa baru program S1 reguler.
Serta Himbauan Dirjen kepada pimpinan PTN untuk tidak menaikkan SPP pada tahun
akademik 2012-2013. Dengan sistem UKT, pemerintah juga akan memberikan Bantuan
operasional perguruan tinggi negeri (BPOPTN) yang semula 1,5 triliun menjadi
2,7 triliun. pemerintah ingin menekan praktek diskriminasi pendidikan yang
selama ini ternyata menjadi “momok” dalam kehidupan pencerdasan bangsa
khususnya di perguruan tinggi.(Kutipan dari berbagai sumber)
Sebenarnya
saya kurang tahu bagaimana mekanisme penghitungan UKT perfakultas ini. Cuma
kalau dari perhitungan saya,contohnya, ini akan jauh lebih rendah UKT yang akan
dibayar, berdasarkan UKT yang sesuai dengan pemahaman saya. Uang masuk
universitas saya dulu sekitar Rp 4,3 jt dengan @semester Rp 1,25 jt. Coba saja
kalikan Rp 1,25 jt dengan 7 (7semster yg diluar pembayaran uang masuk),
dijumlahkan dengan uang masuk Rp 4,3 jt. Setelah itu bagi dengan 8 (8 semster
aktif). Nah, kalau pemahaman UKT saya seperti itu, akan benar-benar membantu
masyarakat kurang mampu yang akan memasuki universitas. Tapi dengan kenyataan
sekarang?? Wallahualam.
Pemberlakuan
UKT menurut saya mempersulit sistem pendidikan. Maksudnya?? Helooo. Gini nih,
pemikiran saya.
1.
Setahu saya (berdasarkan jawaban beberapa
mahasiswa yang di kampusnya diberlakukan UKT), level mahasiswa itu ada 5. Di
mana, level 1 adalah level terendah dan level 5 adalah level tertinggi.
2.
Pembagian mahasiswa berdasarkan level-level
tersebut lambat laun akan mengelompokkan kelas social mahasiswa sendiri. Ingat
! Saya mengatakan lambat laun, akan timbul ketimpangan social antara mahasiswa
yang membayar UKT tinggi dengan yang rendah.
3.
Okey, anggap saja memudahkan golongan masyarakat
lemah. Tapi, setahu saya proses mengurus ke bagian akademik itu, sangat susah
luar biasa. Ini biasanya terjadi untuk kasus yang golongan 3,2,dan 1. Setahu
saya, kebanyakan dari pelayanan akdemik tidak memuaskan. Mahasiswa cenderung di
“Jutekin” dan di abaikan. Belum lagi jika mengurus untuk hal-hal yang sifatnya berhubungan
dengan uang. Pasti susah. Beda jika pelayanan yang diberikan sama dengan
mahasiswa yang ada di level tinggi. Tapi ini terjadi ketika saya masih di
kampus. Sekarang, saya sudah tidak di kampus lagi, sejak tahun 2013.
4.
Jika memang ingin membantu masyarakat golongan
lemah, kembalikan ke sistem awal lagi (sebelum UKT diterapkan), jika kesusahan
membayar uang masuk yang besara, bisa dicicil, dan berikan beasiswa pada
mahasiswa yang kurang mampu. Pemberian beasiswa untuk mahasiswa kurang mampu,
menurut saya lebih baik, karena sekarang sudah banyak bantuan beasiswa untuk
yang kurang mampu. Selain itu, jika distribusinya merata, akan jauh lebih baik
lagi. Agar pemberian beasiswa tepat sasaran, hendaknya universitas member perhatian
khusus kepada calon penerima beasiswa (You know what I mean lah).
Ini hanya pemikiran seorang perempuan yang menghabiskan
hari-harinya di pojok kamar tapi tidak menutup diri dari dunia luar. Semoga
saja ada keputusan yang benar-benar berpihak pada pendidikan, bukan
komersialisasi pendidikan.