Haloo, kali ini saya bakal bahas sedikit tentang Pariaman. Tau Pariaman? Pariaman adalah salah satu daerah yang ada di pesisir barat pantai Sumatera. Kenapa saya ingin membahas tentang pariaman ? Karena :
- Tanah kelahiran saya (Orang pariaman cieee)
- Di daerah Pariaman, ada gelar "SIDI" yang menjadi misteri, Dari manakah asal muasal gelar SIDI ini?
Nah, mari kita lihat beberapa bahasan yang saya kumpulkan dari berbagai sumber.
BANGSA MELAYU DIDATARAN TINGGI MINANG
Daerah Pariaman merupakan
kawasan pesisir pantai jauh sebelum kedatangan bangsa bangsa Indochina dipimpin
oleh Dapunta Hyang telah dihuni oleh bangsa Gujarat, Malabar dan Srilanka dan
jauh sebelumnya telah ada ras Negrito dan Austronesia yang mendiami kawasan
tersebut. Ekspansi yang dipimpin oleh Dapunta Hyang bergerak dari daerah
Minangatamwan yang berada dimuara sungai kampar kanan dan sungai kampar kiri
menuju dataran tinggi sumatera barat, untuk seterusnya bergerak dan akhirnya
menetap di Palembang mendirikan kerajaan Sriwijaya.
Kedatangan
bangsa Indochina dibawah pimpinan Dapunta Hyang dianggap oleh para sejarawan
sebagai migrasi kedua dari bangsa yang mendiami kawasan Asia selatan. Ada juga
yang berpendapat bahwa migrasi pertama yang berasal dari Asia selatan, mereka
berasal dari daerah yang bernama Dongson berkebudayaan perunggu dan mendiami
daerah pegunungan Asia selatan. Sedangkan yang datang dan bergerak dari daerah
Minangatamwan menuju dataran tinggi Sumatera Barat tidaklah dapat dikatakan
sebagai migrasi penduduk. Lebih tepat dikatakan ekspansi bangsa Indocina yang
bisa saja berasal dari Kamboja atau Champa. (Prasasti Kedudukan Bukit, 684 M)
Migrasi bangsa Indochina yang berasal
dari pengunungan Dongson kawasan Asia Selatan adalah migrasi pertama yang
berlangsung berabad-abad sehingga terjadi asimilasi dengan ras Negrito dan
Austronesia kemudian melahirkan kebudayaan Neolitich.
Kedatangan
bangsa Indochina melalui jalan ekspansi merupakan migrasi kedua yang dipimpin
oleh Dapunta Hyang berhasil menaklukkan dataran tinggi Sumatera Barat, Jambi,
Bengkulu dan mendirikan Kerajaan Sriwijaya kemudian menyerang kerajaan Taruma
Negara yang beragama Hindu di Pulau Jawa (Prasasti Talang Tuo, 685 M).
Oleh sejarawan, kedatangan bangsa
Indochina, baik yang datang secara berimigrasi maupun yang datang melalui
ekspansi sebagai nenek moyang bangsa Melayu dan nenek moyang bangsa
Minangkabau.
Dapunta Hyang atau Sri Jayanasa
mendirikan kerajaan Sriwijaya dan dinasty (wangsa) Syailendra sebagai penguasa
kerajaan beragama Budha aliran Hinayana terkuat dan terbesar di Nusantara.
Kemudian Adityawarman mendirikan kerajaan Malayupura (tulisan dibelakang Arca
Amoghapasa, Prasasti Kuburajo, dan Prasasti Batusangkar) dan memindahkan pusat
kerajaan tersebut di pedalaman Sumatera Barat. Pada tahun 1347 M kerajaan ini
akhirnya lebih dikenal dengan Kerajaan Pagaruyung.
Adityawarman sendiri merupakan
keturunan Raja Majapahit hasil perkawinan dengan Dara Jingga, Putri dari
Kerajaan Dharmasraya. Adityawarman beragama Hindu dan Bidha (Sinkrentis).
Sampai pada pertengahan Abad XIV kerajaan Pagaruyung masih beragama Budha yang
dipadukan dengan Hindu.
Belum ada satu manuskrip yang
menyatakan Islam sudah ada di dataran tinggi (Pedalaman) Sumatera Barat pada
masa tersebut. Sekitar tahun 1513 barulah ada raja Pagaruyung yang memeluk
Agama Islam, sebutan Raja berubah menjadi Sultan. Sultan pertama pagaruyung
adalah Sultan Ahmadsyah dan Sultan pertama tersebut jelas bukanlah merupakan
keturunan dari Aditywarman.
Situasi yang
sangat berbeda bila dibandingkan dengan daerah pesisir pantai, Pariaman
merupakan kawasan pesisir pantai dihuni oleh orang Gujarat dan Malabar yang
berasal dari India. Pariaman atau dalam Hikayat Raja-raja Pasai disebut dengan Faryaman pada saat masuknya Dapunta Hyang ke
dataran tinggi (pedalaman) Sumatera Barat, disini sudah mengakar kuat agama
Hindu. Masyarakat Hindu membagi manusia dalam empat tingkatan struktur sosial
atau yang lebih dikenal dengan Kasta.
Kasta Brahmana dikenal sebagai
struktur masyarakat tertinggi, mereka adalah kaum pendeta. Kasta ini sangat
menjaga kesopanan, etika dan moralitas yang tinggi dan umumnya mereka menjadi
penasehat raja. Kasta Ksatria merupakan struktur masyarakat Hindu ditingkatan kedua,
mereka adalah kaum bangsawan dan pembesar kerajaan umumnya mereka juga sangat
menjaga kesopanan, etika dan moralitas. Kasta waisya merupakan struktur
masyarakat Hindu ditingkatan ketiga, mereka adalah kaum pedagang dan pengusaha.
Kasta Sudra dikenal juga sebagai orang paria, mereka adalah para pekerja kasar,
tukang dan mengabdi pada kasta yang berada diatasnya, mereka tidak menjaga
kesopanan dan punya moralitas yang sangat rendah.
Pada awal abad VII M seorang pendeta
Budha (I Tsing) yang belajar dan menetap beberapa tahun di Kerajaan Sriwijaya
menulis dalam catatan perjalanannya bahwa ada sekelompok masyarakat Arab
beragama Islam yang mendiami pesisir pantai barat Sumatera. Masyarakat Arab
yang pertama minginjakkan kaki dipantai barat Sumatera ini bisa saja berasal
dari Hijaz kemudian melakukan perjalanan kewilayah India kemudian melakukan
perjalanan dengan kapal dan sampailah mereka dipelabuhan Tiku dan menetap di
daerah tersebut. Rombongan ini merupakan migrasi pertama dari dari turunan Imam
Hasan dan Bani Ghasan.
Terjadinya pembantaian terhadap Bani
Ghasan disebabkan Bani Ghasan tidak mengakui kekhalifahan Abu bakar oleh sebab
itu mereka tidak mau membayar zakat. Ketidakmauan Bani Ghasan membayar zakat
menjadi alat pembenaran oleh khalifah Abu Bakar untuk membantai Bani Ghasan,
sehingga yang selamat melarikan diri ke Hijaz.
Pada tahun 680 M Imam Husain (cucu
Nabi Muhammad SAW) syahid di Karbala dibantai oleh pasukan Yazid. Sebelumnya
Imam Hasan berhadapan dengan Muawiyah bin Abi Sofyan dan dengan kelicikan
berhasil membunuh Imam Hasan dengan cara meracuni melalui isteri Imam Hasan
yang bernama Jad’ah. Beberapa Anak Imam Hasan bergabung dengan Bani Ghasan yang
sudah lebih dahulu ada di Hijaz.
Anak keturunan Imam Hasan dan Imam
Husein serta para pengikut setia mereka pasca pembantaian di Padang Karbala
menyembunyikan diri di Hijaz dan kawasan sekitarnya. Kejaran dari serdadu Yazid
memaksa mereka meninggalkan kampung halaman untuk menyelamatkan diri dengan
mencari daerah yang jauh dan aman hal ini terjadi dipenghujung abad VI M.
Sebahagian besar turunan Imam Husein Migrasi kewilayah Hadramaut kemudian
menyebar kekawasan Asia tenggara dan pada pertengahan Abad ke IX salah satu
turunan Imam Husein di rajakan di Peurelak. Ini merupakan migrasi kedua dari
turunan Imam Hasan dan Imam Husein di Nusantara.
Kedatangan bangsa Arab diawal abad VII
melalui Bandar Tiku diabadikan didalam cerita rakyat ditanah Minang (Ba Khaba).
Kemudian bangsa Arab ini membuka perkampungan tidak jauh dari Bandar Tiku dan
kampung tersebut sampai saat ini bernama Ghasan. Kemudian terjadi asimilasi dan
akultrasi budaya Hindu dan Islam.
Diceritakan mendaratnya Sidi Nan
Sabatang di Bandar Tiku beserta rombongan, Sidi Nan Sabatang tersebut membawa
seluruh keluarganya. Isteri dan para pembantu serta para pengawal. Sidi Nan
Sabatang tersebut punya sembilan anak laki-laki dan mereka lebih dikenal dengan
sebutan Sidi Nan Sambilan. Sedangkan berapa jumlah anak perempuan Sidi Nan
Sabatang tidak ada kabar beritanya, namun diceritakan anak perempuan Sidi Nan
Sabatang tersebut dikawinkan dengan Raja Hindu yang sudah memeluk Agama Islam
dan anak dari hasil perkawinan tersebut bergelar Bagindo.
Namun sampai saat ini tidaklah
diketahui secara pasti Sidi Nan Sabatang tersebut berasal dari fam (keluarga)
mana, bila ditelisik dari lintasan sejarah tentang tekanan yang dialami oleh
turunan Imam Hasan dan Imam Husein serta jalur migrasi mereka maka besar
kemungkinan turunan Imam Hasan lah yang mendarat di Tiku dan menyebar dikawasan
Pariaman dan sekitarnya. Turunan Imam Hasan yang sampai di Tiku Pariaman
berasal dari satu orang yaitu Sidi Nan Sabatang, kemudian mempunyai anak
laki-laki yang disebut dengan Sidi Nan Sambilan, dari Sidi Nan Sambilan
berkembanglah turunan Sidi selama 1300 tahun di Pariaman, mereka berkembang
seperti butiran hujan yang turun ke bumi, bagaikan butiran pasir yang ada
ditepian pantai.
TERPUTUSNYA
NASAB SYAID PARIAMAN
Setelah terjadinya Islamisasi secara
damai maka berubahlah struktur masyarakat Hindu Pariaman. Kasta berubah menjadi
gala atau gelar. Brahmana menjadi Sidi dan mereka adalah pemuka agama Islam
banyak diantara mereka menjadi Tuanku (panggilan Ulama Minang). Ksatria menjadi
Bagindo dahulunya mereka adalah para pembesar kerajaan dan merupakan kaum
bangsawan. Waisya menjadi Sutan, mereka adalah kaum pedagang dan pengusaha,
gelar ini biasanya juga diberikan atau dihadiahkan kepada orang asing yang
dihormati. Sudra atau Paria menjadi Marah ini merupakan struktur paling rendah
dalam masyarakat Pariaman sampai saat ini. Orang yang bergelar Marah tak boleh
dipanggil Rajo (Ajo), mereka biasanya dipanggil Uda seperti orang Minang yang
mendiami dataran tinggi (pedalaman) Minang.
Gelar atau gala diwarisi secara turun
temurun dari pihak ayah, sedangkan kekerabatan dari diwariskan dari pihak ibu
(Matrilineal). Bila ayah seseorang begelar Sidi maka si anak juga bergelar Sidi
(gala ndak dapek diasak), dan bila ibunya bersuku Chaniago maka si anak bersuku
Chaniago. Mungkin hal ini menjadi salah satu penyebab para Sidi di Pariaman
tidak mengetahui fam mereka,
karena dibelakang nama mereka tidak dicantumkan fam seperti turunan Imam Husein yang
datang dari Hadramaut ke Nusantara. Mereka biasanya mencantumkan suku dari ibu
dibelakang nama sedangkan gelar didepan nama.
Seorang yang bergelar Sidi (singkatan
dari Syaidi) haruslah mencantumkan gelar Siti (singkatan dari Syaidati) didepan
nama anak perempuannya. Tak ada orang Pariaman yang berani mencantumkan gelar
Siti didepan nama anak perempuannya kalau mereka bukan bergelar Sidi. Kalau di
tanah Melayu anak perempuan dari turunan Said didepan namanya dicantumkan gelar
Syarifah. Inilah kebiasaan yang berlangsung selama ribuan tahun, dan saat ini
sudah jarang seorang perempuan dari turunan Sidi memakai gelar Siti.
Seorang yang bergelar Bagindo
merupakan turunan pertama dari anak perempuan Sidi Nan Sabatang yang menikah
dengan raja Hindu yang sudah memeluk agama islam. Anak laki-laki yang lahir
dari perkawinan tersebut diberi gelar Bagindo dan untuk seterusnya gelar
tersebut diwariskan kepada anak Laki-laki, sedangkan anak perempuan memakai
gelar Puti. Pemakaian gelar Puti pada anak perempuan yang ayahnya bergelar
Bagindo saat ini sudah hampir hilang atau hilang sama sekali.
Pemakaian gelar Siti untuk anak
perempuan dari turunan Sidi maupun pemakaian gelar Puti untuk anak perempuan
dari turunan Bagindo saat ini sudah hilang. Pemakaian gelar tersebut bukan saja
untuk menguatkan identitas tapi lebih pada penjagaan diri si anak tersebut.
Seorang Sidi kalau bertemu perempuan Pariaman yang bergelar Siti maka dia akan
memperlakukannya dengan penuh hormat dan menganggapnya sebagai saudara kandung,
demikian juga perlakuan yang diberikan kepada perempuan Pariaman yang bergelar
Puti. Bila Sutan atau Marah bertemu perempuan Pariaman yang bergelar Siti atau
Puti mereka akan menghormatinya dan tidak berani bersikap lancang. Penghormatan
ini diberikan karena keduanya merupakan turunan dari Sidi Nan Sabatang yang
merupakan zuryat (keturunan) Rasulullah Muhammad SAW.
Menurut Hamka turunan Rasulullah yang
ada di Pariaman bergelar Sidi (Dari Perbendaharaan lama dan Panji Masyarakat)
mereka bisa dikenali dari ciri-ciri fisiknya, berwajah arab atau berwajah
oriental. Dari cerita rakyat (khaba) Pariaman, Sidi Nan Sabatang beristri
seorang perempuan China.
SIDI
BANGSA YANG DIRAJAKAN
Dalam adat istiadat masyarakat
Pariaman Gala Pusako dari Ayah berbeda dengan orang Minang yang berasal dari
dataran tinggi (pedalaman) Gala merupakan pusako dari Mamak ke kemenakan (dari
paman ke kemenakan). Sewaktu orang-orang dari dataran tinggi menjadikan daerah
Pariaman sebagai daerah Rantau (jajahan), Gala Pusako dari ayah tidak bisa
digantikan dengan sistem adat yang dibawa dari dataran tinggi tersebut.
Rombongan yang datang dan mendarat di
Bandar tiku (berbatasan dengan Luhak Nantigo) serta mendirikan perkampungan dan
menamakannya kampung Ghasan (untuk mengenang asal mereka Bani Ghasan). Sidi nan
sabatang beserta keluarga dirajakan (dirajokan/dihormati layaknya raja) oleh
Bani Ghasan. Penduduk pribumi baik yang ada di Pariaman maupun yang datang dari
dataran tinggi pada akhirnya juga merajakan mereka. Keturunan Sidi nan sabatang
baik yang bergelar Sidi maupun Bagindo dipanggil dengan panggilan Ajo (Rajo).
Sutan yang merupakan kaum pengusaha dan pedagang juga dirajokan atau dipanggil
Ajo.
Panggilan Ajo merupakan panggilan dari
seorang adik kepada abangnya, bisa juga panggilan untuk orang yang usianya
lebih tua. Orang yang boleh dipanggil Ajo adalah seseorang yang bergelar Sidi,
Bagindo dan Sutan. Panggilan Uda merupakan panggilan seorang adik kepada
abangnya atau panggilan kepada seseorang yang usianya lebih tua.
Menurut adat di Pariaman seseorang
yang bergelar Marah yang boleh dipanggil Uda. Kemudian Orang-orang yang datang
dari dataran tinggi Minang juga dipanggil Uda oleh orang Pariaman karena mereka
adalah penduduk asli Tanah Minang atau melayu Minangkabau atau kaum pribumi
ranah Minang. Sama dengan penduduk yang lebih dulu ada di Pariaman ketika
rombongan Sidi Nan Sabatang mendarat di Bandar Tiku juga dianggap sebagai
bangsa pribumi.
Beginilah cara para Bani Hasyim yang
sampai di Pariaman dalam menyikapi perbedaan antara Bani Hasyim dan penduduk
asli melayu Minangkabau. Bangsa Melayu yang tinggal di dataran tinggi (pedalaman)
bisa hidup secara damai dan harmonis walaupun berbeda dalam adat dan istiadat.
Orang-orang yang bergelar Sidi dan
Bagindo di Pariaman lebih bersifat egaliter, Gelar tersebut tidak menjadikan
mereka orang yang sombong dengan keturunannya. Mereka berbaur dengan masyarakat
pribumi, juga terjadinya asimilasi melalui perkawinan, walaupun masih ada juga
yang mempertahankan pernikahan sekufu (Siti untuk Sidi).
Datuk Parpatiah Nan Sabatang sebagai
peletak dasar pemerintahan desentralisasi Bodi Chaniago dalam mamangan disebut
“duduak sahamparan, tagak sapamatan.” Hal ini menyiratkan bahwa kedudukan raja
dan rakyat adalah sama didalam hukum (Demokrasi). Sistem ini memandang semua
orang sama dan sederajat secara hukum, inilah yang menjadikan masyarakat
Pariaman menjadi egaliter. Sangat berbeda dengan sistem sentralistik
pemerintahan Koto Piliang yang dibangun oleh Datuk Katumangguangan, yang
didalam mamangan disebutkan “Rajo ditantang, mato buto.” Hal ini bermakna bahwa
raja punya kekuasaan yang Absolut, sehingga rakyat harus menjalankan apapun
titah raja (Feodal).
Pada perkembangannya terjadi perpaduan
kedua sistem tersebut yang didalam mamangan disebut “Rajo alim rajo disambah,
rajo zalim rajo dibantah”. Sampai saat ini sistem inilah yang digunakan oleh
masyarakat Minangkabau, yang bermakna ketika seorang penguasa memimpin dengan
adil maka rakyat akan menghormati, ketika seorang penguasa berlaku zalim
terhadap rakyat maka penguasa tersebut wajib untuk tidak didukung bahkan
digulingkan dari kekuasaannya.
SEBAB
MUSABAB HILANGNYA GELAR SIDI
Ada perbedaan yang fundamental antara
zuryat Rasulullah di Pariaman dan dan zuryat Rasulullah didaerah lain di
Nusantara dalam hal menjaga gelar keturunan. Gelar Sidi dalam adat yang berlaku
di Pariaman bisa saja hilang diakibatkan beberapa hal, diantaranya adalah gelar
Sidi disandang dan dilekatkan ketika seorang dari turunan Sidi sudah menikah,
maka keluarga pihak perempuan memanggil menantunya, atau iparnya tersebut
dengan gelar yang disandangnya. Bila dia tidak menikah sampai akhir hanyat maka
dia tidak pernah dipanggil dengan gelar yang disandangnya.
Sebab lain adalah ketika keturunan
Sidi menikah dengan orang yang tidak sebangsa (Pariaman), misalnya menikah
dengan perempuan Jawa atau perempuan dari suku lain yang ada di Nusantara. Maka
tentu saja pihak keluarga perempuan, apakah itu ipar atau mertua tidak ada yang
memanggil Sidi. Menikah dengan penduduk asli Minang yang berasal dari Luhak Nan
Tigo (Agam, Tanah datar, Limo Puluh Koto), oleh mereka siapapun menantu mereka,
apapun bangsa menantu mereka, apakah bergelar Sidi, Bagindo, Sutan atau Marah,
apakah berasal dari Pariaman atau daerah lain tetap saja dipanggil Sutan.
Adapun sebab lain adalah malu
menyandang gelar Sidi, seorang yang bergelar Sidi biasanya malu dipanggil Sidi
bila sikap dan moralnya tidak baik. Hal yang sangat mendasar menjadi penyebab
hilangnya gelar Sidi tersebut adalah gelar tersebut tidak disandangkan kepada
nama anak keturunan sejak lahir. Sangat berbeda dengan turunan Alawy yang
datang pada awal abad VIII sampai dipenghujung abad XVI, mereka menyandangkan
gelar tersebut didepan nama anaknya sejak mereka lahir.
Tulisan ini bukan untuk membanggakan
keturunan tertentu atau merendahkan keturunan yang lain, hal ini semata-mata
untuk mengingatkan penulis sendiri. Ketika kita menghadap Allah yang ditanyakan
adalah amal dan ibadah yang kita lakukan semasa hidup bukan dari keturunan
siapa kita berasal.